Siang belum begitu terik saat kau datang. Sebuah waktu yang janggal bagiku. Tak kulihat mendung bergelayut di langit, namun ada mega hitam yang mengambang di bola matamu. Entahlah, aku merasa ada warta penting yang begitu ingin kau sampaikan. Sebagai seorang istri, aku harus selalu bersiap atas apapun yang ingin kau ceritakan. Begitu banyak gunungan resah di keningmu. Sepertinya, kau butuh kopi panas untuk membuatnya sedikit lega. Meskipun benar-benar tak bisa melegakan.

Lengang tanpa suara. Kita sedang duduk berhadapan di teras belakang rumah. Gemerisik angin meniupkan warta yang sumbang pada dedaun. Sumbang dan panasnya menggeliatkan hati yang resah. Sesekali terdengar cericit anak ayam dan bunyi rokok kretek yang kau hisap. Lama, aku menikmati suasana ini. Sepertinya hati kita sedang saling bicara. Tanpa suara, namun saling merasakan. Aroma kopi menyeruak diantara gelisah yang mengambang.

Aku tahu yang ingin kau sampaikan ini berhubungan dengan pekerjaanmu di pabrik. Ya, hal inilah yang sering kau resahkan selama ini. Entahlah, sepertinya kau memang sudah bisa menebak bahwa akan berakhir seperti ini. Semenjak kau bersikeras mendirikan serikat pekerja untuk menaungi buruh pabrik dimana kau bekerja selama ini, sejak itu pula banyak rintangan yang kita hadapi. Mulai dari intimidasi, ancaman dan teror tak pernah luput dari kehidupan kita. Aku yakin kau hanya ingin keadilan. Bukan untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk seluruh buruh pabrik. Sungguh suatu cita-cita yang mulia. Namun kenyataan yang kau terima lebih pahit dari itu. Sepertinya Tuhan sedang menguji kita. Dan sepertinya Tuhan tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan yang kau perjuangkan. Ah, tidak selayaknya aku menyalahkan-Nya. Mungkin ini suatu jalan yang memang harus kita lewati.

Kudengar suara lenguh nafasmu, pertanda resah yang memuncak. Harap-harap cemas menunggu kabar dari pabrik. Apa lagi yang akan kita terima, setelah puluhan buruh melakukan mogok kerja esok tadi? Dan aku tahu kau pastilah target utama yang dicari oleh para penguasa pabrik itu.

***

Bau asap mulai tercium samar dan perlahan. Inilah kabar dari pabrik, dan inilah takdir Tuhan untuk kita…

Kita sama sama saling berpelukan di tengah kepulan asap yang mulai menjelaga. Kupegang perut sambil terus berdoa, demi keselamatan anak yang ada dalam kandunganku. Tanganku kau genggam erat. Di seberang jalan ini aku melihat puing-puing bangunan rumah kita mulai habis dilahap jilatan api.

Ya, Tuhan punya cara sendiri untuk mengajari mahluk-Nya belajar ikhlas dan bangkit dari keterpurukan. Dan disinilah kita sekarang, memandang takdir-Nya dengan penuh keikhlasan. Menerima jalan-Nya dengan penuh ketabahan. Bukankah alam masih terbuka lebar dan mau menerima kita kembali? Bukankah itu telah disediakan Tuhan untuk kita? Sudah saatnya kita kembali ke alam, sebelum semuanya binasa pada tangan-tangan yang tak ber-Tuhan…

—***—

“Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma.”