Beranda

Group Whatsapp : Antara Penyambung Silaturahmi dan Ujian Kesabaran

3 Komentar

Gambar diambil dari searching di google

Gambar diambil dari searching di google

Ada berapa group yang Anda ikuti di whatsapp? Satu, dua, tiga, atau lebih di atas lima? Saya sendiri terdaftar (semuanya tidak dengan sengaja saya ikuti) di 15 group whatsapp. Jumlah yang tentu saja membuat puyeng, apalagi untuk kapasitas hape yang sudah mulai megap-megap. Dari lima belas group tersebut di antaranya adalah : group profesi, group komunitas, group alumni, group reuni, group kepanitiaan dan event, group organisasi selama di kampus, group kantor, dll. Dan entah kenapa dalam satu waktu semua group itu bisa saja berubah fungsi sebagai group jual beli terselubung, hihi.

Hampir di semuanya saya tidak begitu aktif. Lebih tepatnya hanya menyimak saja. Mungkin aktif beberapa saat ketika memang ada diskusi di group. Selebihnya, saya lebih mengaktifkan diri sebagai pembaca. Mungkin ada yang berpikir ikut di sebuah group tapi gak pernah nampak ‘bicara’ apa gak membuang waktu? Apa gak sebaiknya leave aja untuk kemaslahatan umat? Hihi. Ada beberapa alasan sih memang buat saya kenapa harus tetap bertahan meskipun munculnya sesekali saja. Apalagi untuk group-group wacana dan informasi, tentu akan sangat banyak manfaat yang kita dapatkan.Khusus untuk group profesi, banyak sekali saya dapat wacana dan informasi yang bermanfaat. Di sanalah saya bisa sangat nyaman ketika tiba-tiba ikut terlibat diskusi atau sekedar menyatakan pendapat terhadap isu yang dibicarakan di group. Jadi, meski sedikit ‘bicara’ namun saya enggan keluar karena bagi saya group itu sarat informasi khususnya bagi pengembangan diri di profesi yang saya tekuni saat ini. Rela meskipun harus nyekrol-nyekrol ratusan percakapan yang terlewat. Meskipun ya, kadang ada masanya diskusi-diskusi itu kosong dan isinya cuma gambar-gambar atau video yang kadang bikin ketawa tapi kadang juga menguji kesabaran. Haha.

Saya sendiri sebenarnya bukanlah seorang yang selalu bisa memantau group whatsapp setiap saat. Makanya, salut banget kalau ada orang yang setiap saat selalu aktif menjawab dan melemparkan bahan obrolan. Khususnya admin. Jempol banget deh buat mereka. Karena jujur, saya belum tentu bisa seperti mereka yang bisa terus aktif meramaikan dan menghidupkan suasana group. Saat saya membuka semua group adalah ketika menjelang tidur malam, sambil istirahat. Tapi jika sepanjang hari ada waktu luang, maka saya bisa sesekali waktu membukanya.

Beberapa group yang menguji kesabaran adalah yang sepanjang hari isinya cuma nostalgia dan sering bercanda menjurus ke ghibah. Ada sih beberapa di group wasap yang saya ikuti isinya seperti itu. Pernah leave, dimasukkan lagi. Hehe. Iya sih, terkadang kita memang butuh sesekali bernostalgia tapi life must go on kan? hihi. Kalau sudah masuk ke masa nostalgia biasanya langsung ke tahap bercanda, lanjutannya bisa ke ghibah. Yang males itu kalau ghibahnya ke orang-orang yang tidak ada di group. Biasanya saya langsung bersihkan chat. Salah seorang senior saya di pencinta alam pernah melemparkan sebuah pertanyaan sebelum dia leave dari sebuah group yang kami ikuti bersama. Dia menanyakan apakah fungsi dari group tersebut cuma bercanda, nostalgia dan sesekali ghibah sementara kerusakan lingkungan seringkali terjadi. Tidak adakah diskusi seputar permasalahan lingkungan dan sebagainya yang berhubungan dengan dunia kepencintaalaman? Tidak ada tanggapan atas pertanyaannya. Kemudian pertanyaan yang menurut saya bagus itu tertutupi oleh ratusan chat dan mungkin hanya diingat oleh segelintir orang saja.

Menurut beberapa kawan saya yang mengamini group whatsapp sebagai hiburan dan suka-suka, keseharian di kehidupan nyata yang dijalani sudah terlalu serius jadi mereka melampiaskannya di group whatsapp untuk melontarkan candaan yang kadang bikin ketawa ngakak dan seringkali bikin gemes, haha. Tapi kadang bercandanya kelewat batas sehingga menutup fungsi utama group. Info-info penting jadi terlewat dan seringkali sepi tanggapan.

Saya suka sekali jika sebelum memasukkan ke group, admin yang bersangkutan meminta izin dulu secara pribadi. Ada satu group untuk kepentingan event blog, adminnya meminta izin terlebih dahulu dan menjanjikan jika acara sudah selesai group akan dihapus. Bagi saya ini profesional banget. Karena beberapa group kepanitiaan dan event yang tidak dihapus ketika acara sudah selesai jatuhnya gak jelas. banyak bercandanya daripada bagi informasinya, hehe.

Tak dapat dipungkiri, group whatsapp memang juga sebagai penyambung silaturahmi baik kawan lama, maupun mempertemukan kita dengan kawan baru. Banyak persahabatan yang tersambung lewat group. Kita juga bisa membantu usaha teman. Banyak manfaat yang sebenarnya bisa kita proleh jika bisa memanfaatkannya dengan bijak dan tepat. Sesuai dengan batas-batas tentunya. Karena bagi saya, segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Bercanda sewajarnya, nostalgia seperlunya. Group whatsapp ini sebenarnya seperti juga kehidupan di dunia nyata. Ketika kita hidup dengan bayak karakter orang. Ada yang pendiam namun menyimak, ada yang suka bikin huru-hara, ada yang ketus, ada yang lemah lembut dan selalu menyebarkan kata-kata mutiara, ada yang selalu berbagi informasi, ada yang suka nggosip, ada yang selalu ramai menghidupkan suasana, semuanya ada. Jadi tinggal bagaimana cara kita saja menempatkan diri. Karena membaca suasana adalah pelajaran yang tidak pernah kita terima di bangku sekolah. Terkadang, karena salah membaca suasana mengakibatkan salah persepsi yang bisa membuyarkan persahabatan, hehe.

Bagaimana dengan pendapat Anda tentang serba-serbi group whatsapp?

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Pertama Aida, Serba-Serbi Grup WA”

Dua Senja Kemarin, Ada Masjid dan Gerimis

11 Komentar

masjid

Dua senja kemarin ketika gerimis turun, saya dan suami sedang melintasi jalan yang penuh areal persawahan. Segar menyejukkan rasanya. Gerimis berkecipak pelan. Sampailah kami di depan sebuah masjid. Dari kejauhan, masjid ini tampak begitu memukau. Bangunannya megah arsitekturnya mewah. Masjid Bani Toyyib, begitu masyarakat wilayah Antirogo Jember mengenalnya. Ini termasuk masjid yang baru rampung renovasinya. Disela gerimis yang turun satu persatu, masjid ini nampak begitu berani menghunjam mendung.

Untuk apa semua ini diciptakan bermegah-megah? Apakah dengan itu kadar keimanan diukur? Sayang, senja, mendung dan gerimis pun tak mampu menjawabnya. Karena hanya Tuhan yang bisa menimbang semuanya.

“Foto ini diikutsertakan dalam Lomba Foto Blog The Ordinary Trainer”

logo

A Place to Remember : Rumah Jingga Para Pencinta

24 Komentar

6-Ini foto tahun 2008, di depan Rumah Jingga. Saya yang mana hayo?? :)-

Jika harus mengingat satu tempat yang penuh kenangan, ingatanku langsung terlontar pada sebuah ruangan dengan ukuran kurang lebih 7×4 meter persegi. Kaca jendela, pintu dan barang di dalamnya dipenuhi dengan aneka macam stiker. Warna dan tulisannya beragam. Secara umum, stiker-stiker tersebut menandakan waktu dan tempat sebuah acara. Cat temboknya berubah-ubah. Kadangkala berwarna hijau, putih, krem, jingga dan lain sebagainya. Rasanya semua warna sudah pernah dicoba, selain hitam tentu saja. Tapi bagiku, rumah ini tetap berwarna jingga. Aku menyebutnya, rumah jingga para pencinta. Dia adalah sekretariat pencinta alam SWAPENKA (Mahasiswa Pencinta ALam) Fakultas Sastra Unej.

7-Nggak nemu gambaran ruangan yang detail, nemunya yang ini. Tuh, lihat cat temboknya, macem-macem kan? Hihihi-

Ya, semuanya yang ada di dalamnya adalah mereka yang sedang belajar untuk mencintai alam. Bukan pencinta alam, tapi tentu saja senantiasa untuk belajar mencintainya. Pencinta alam, bagi saya kata itu terlalu tinggi dan utopis. *Jangan dikeplak carier cagak ya Bulik Juri :P* Bukan mustahil, namun selalu diusahakan menuju ke arah sana. Di rumah jingga inilah kami bermain dan belajar bersama-sama. Bukan melulu pada ilmu-ilmu kepencintaalaman. Tapi, disinilah saya belajar tentang bagaimana cara menikmati hidup dengan sudut pandang yang berbeda. Disini pula kami belajar bahwa hidup yang seimbang adalah hidup yang humanis. Setara dengan alam dan sekitarnya.

Kalau pagi datang, di depan sekretariat yang rimbun terdengar cericit burung ramai membuyarkan mimpi. Belum lagi ocehan tetangga penghuni sekretariat sebelah yang sudah mulai semarak. Itu tandanya, jam kuliah sudah dimulai. Ada banyak kisah yang tercecer, bahkan di permukaaan loker yang berkarat dan penuh stiker. Ada kenangan yang menempel di deretan piala usang yang itu-itu saja. Terakhir nambah 2012 kemarin, waktu Rotan dan Sodhunk menang lomba nulis. Belum lagi ubin-ubin usang yang selalu menopang pijakan tubuh saya sewaktu tidur, duduk maupun berlari-lari kecil gak jelas. Hehe. Ada yang melekat pada payung merah dengan kursi beton yang melingkar di bawahnya. Tempat bagi semua yang ingin berbagi rasa. Curhat, nglamun atau sekedar ngopi-ngopi hore.Semuanya selalu indah untuk dikenang.

depan-Ini gambaran pepohinan rimbun di depan sekretariat. Foto diambil sewaktu pemberangkatan Diklatsar tahun 2013-

Pepohonan dan tamannya tertata sesuai mood para penghuninya. Kadang bagusss banget, tapi tak jarang juga berantakan. Begitu pula dengan halamannya. Kadang kotor bangeeet, kadang malah bersih banget. Kami memang menyerahkan semuanya pada alam. Biar saja daun-daun yang mengering itu luruh dan menyatu dengan alam menjadi pupuk.

Saat kawan-kawan pencinta alam fakultas lain sibuk dengan acara-acara ekstrim semacam naik gunung, panjat tebing, caving, orad dan semacamnya – kami masih tetap seperti apa yang dimulai oleh para pendahulu. Seperti namanya, Mahasiswa Pencinta Kelestarian Alam. Mempelajari konservasi dari sudut pandang keilmuan yang kami terima di Fakultas Sastra. Menulis. Ya, para pendahulu kami percaya bahwa dengan menulis kita pun bisa melakukan upaya pelstarian alam. Jadi jangan heran, tidak ada wall climbing yang tingginya menyentuh langit di sekitar rumah jingga kami. Bukan berarti kami menutup mata dengan bidang keilmuan yang lain. Karena kenyataannya semua ilmu kepencintaalaman itu pada akhirnya bermuara pada konservasi. Semuanya dipelajari untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan.

5-Lawan!!! Foto tahun 2008-

Rumah jingga bagi saya adalah tempat bermain, belajar dan melawan. Bermain menikmati hidup. Belajar mengerti hidup yang setara dengan alam. Belajar berbagi dengan semua mahluk ciptaan Tuhan. Belajar ilmu-ilmu kepencintaalaman ala barat. Dijejali ilmu konservasi ala kepentingan kapitalisme. Kemudian melawannya dengan mempelajari aneka macam kearifan lokal yang sesugguhnya lebih adil bagi nusantara ini. Disinilah kami mengenyam semuanya. Di sebuah tempat yang tak kan pernah terlupakan, rumah jingga. Meskipun mengalami perbaikan diberbagai sisi, sampai menghilangkan kolam ulang tahun kami –rumah jingga– masihlah menjadi tempat untuk mengenang semuanya. Tempat pulang yang paling nyaman. Lekat dan erat.

1-Salam dari kami, dari rumah jingga. Rumah bagi para pencinta :)-

Ada benci, suka, duka, cinta, luka. Semuanya pernah tumpah ruah mewarnai rumah jingga dengan kadar yang tak bisa di-angka-kan.Jangan ditanya ada berapa banyak kenangan yang menempel di setiap ruangannya. Sampai detik saya menuliskan kisah ini, semuanya mengalir deras dan membuat kotak memori meletup-letup. Kenangan. Semanis dan sepahit apapun rasanya, selalu menarik untuk diceritakan.

“A Place to Remember Giveaway”

???????????????????????????????

Segalanya Berawal Dari Langkah Pertama

14 Komentar

Suatu hari, Mas Eru Vierda menghubungi saya. Dia sedang punya gawe Giveaway My First Journey, dan meminta saya untuk menjadi juri. Wow. Agak sedikit kaget sih sebenarnya. Kenapa harus saya ya yang jadi juri? Takutnya, ada sedikit kekhawatiran dari peserta yang ikut. Jurinya koq enggak banget sih? Kayaknya bukan travel blogger deh, gak pernah nulis tentang mengunjungi suatu tempat yang keren. Ih jurinya kan pemabok (mabok darat) berat, gak yakin deh dia sering jalan-jalan. Segala pertanyaan itu terus terang menghantui saya. Hahahaa…

Akhir-akhir ini entah mengapa perjalanan selalu diidentikan dengan tempat wisata yang keren. Petualangan selalu juga diidentikkan dengan kegiatan alam bebas. Atau kalau nggak sebuah upaya eksplorasi yang kadang malah menjebak kita pada rusaknya potensi yang ada. Menurut saya perjalanan tak hanya sebatas pada destinasi saja. Tapi lebih pada intisari dan esensinya. Agar kita melihat dan merasakan apa yang kita temui. Lebih daripada itu, melakukan perjalanan adalah sebuah keputusan berani untuk menikmati hidup dengan cara yang berbeda. Meskipun sekarang ini hal seperti itu sudah sangat menjamur dan sedikit meleset dari apa yang saya bayangkan.

Jujur, saya selalu salut dengan mereka yang sering melakukan perjalanan kemudian menuliskannya di blog lengkap dengan foto-fotonya. Saya sendiri takut untuk melakukan itu. Ya, seringkali ketika mengunjungi suatu tempat saya akan sangat menahan diri untuk menuliskannya. Meskipun seringkali saya selalu tidak bisa menahan diri untuk upload fotonya di jejaring sosial. Pada akhirnya, saya ketakutan sendiri.

Seorang kawan, Ayos (pengelola Hifatlobrain) bahkan memutuskan tidak lagi menerima dan menulis kisah perjalanan yang berpotensi mencederai kualitas alam. Ada semacam perasaan berdosa ketika secara tanpa sadar kita turut serta melukai alam lewat tulisan ataupun foto yang menawarkan gambaran utopis suatu tempat. Arman Dhani juga pernah menuliskan tentang bagaimana keresahannya ketika sebuah stasiun TV swasta menayangkan sebuah acara untuk mengeskplore tempat-tempat yang masih perawan dan belum tersentuh. Saya sedih dan sedikit terpukul membaca tulisan dua kawan ini. Apakah saya juga termasuk di dalamnya?

Lho, ngomong apa saya di atas ? Sepertinya ngelantur. Oke, kembali ke topik utama ya:) Anggap aja yang di atas itu sekedar intro.

Segala hal besar, dimulai dari langkah pertama. Suatu perjalanan, juga diawali dengan langkah pertama. Tanpa itu, semuanya tak akan terwujud.

Dari keseluruhan peserta yang ikut, mempunyai pengalaman pertama yang luar biasa. Salut untuk semua peserta. Kisah-kisah yang dituliskan seolah hidup. Rasanya pingin deh milih semuanya jadi pemenang. Tapi sohibul hajat hanya memutuskan untuk memilih 4 orang pemenang saja. Penilaian yang saya lakukan dalam penulisan kisah perjalanan saya titik beratkan pada 4 unsur. Rekreatif, informatif , edukatif, dan kelengkapan pemenuhan syarat yg ditetapkan.  Di luar 4 unsur itu ada beberapa unsur pengikat lainnya. Diantaranya detail penceritaan, pengambilan ide, keunikan cerita dan pemilihan diksi yang tepat.

Terima kasih juga telah membawa saya menikmati bagaimana beratnya pendakian ke puncak gunung Lawu, Gede Pangrango, Sindoro Sumbing, Tangkuban Perahu dan Raung. Ada juga yang membawa saya ke Jerman, Lombok, Bandung, Bantimurung dan beberapa tempat lainnya. Terima kasih juga atas kenangan sewaktu bersepeda, pramuka, merantau, mencari kerja, perjuangan menuju masa depan sampai pada sebuah impian mulia menjadi dokter. Sungguh sebuah langkah pertama yang begitu mengesankan. Terima kasih sudah mengijinkan saya untuk menikmatinya.

Ada satu hal yang sulit kita bedakan. Saya juga pernah seperti itu. Perjalanan itu akan sangat menyenangkan bila dilakukan tanpa beban. Kalau ada beban, sudah bisa dipastikan saat itu kita sedang berlari. Sadar atau tidak. Tapi saya pribadi percaya, bahwa perjalanan adalah obat tak terkira untuk menyembuhkan luka. Ini semacam perjalanan hati yang juga membutuhkan proses yang begitu luar biasa. *Koq jadi curhat? Dikeplak pakai carier cagak :v *

Perjalanan selalu mengajarkan sesuatu. Tergantung pada si pemilik raga, apakah dia dapat mengambil hikmah atau hanya sekedar melewatkannya. Bukan semata tentang puncak gunungnya, tapi tentang menikmati sebuah perjalanan. Mengenali batas-batas kesanggupan dan kelemahan, bersabar dan bersahabat dengan keadaan, serta pada akhirnya merendahkan diri di hadapan Sang Pemilik Segala Ciptaan.

Cara menikmati hidup setiap orang memang berbeda. Meski kadang cara menikmati harus bertentangan dengan ladang yang sedang dihuni belalang. Untuk mengawali perjalanan hanya tentang melawan rasa takut dan malas. Setiap puncak mempunyai medan perjalanan yang berbeda. Hanya dengan memulainya kita akan tahu cara menghadapi. Puncak tidak akan pernah didapat tanpa langkah awal. Bahkan karena takut dan malas tidak akan ada sekedar cerita tentang perjalanan. Sebelum membunuh waktu, kita harus bisa membunuh rasa takut dan malas untuk memulai.

Itu semua adalah langkah awal yang keren. Terima kasih semuanya. I love you all :* Lalu, apakah saya juga punya langkah pertama untuk memulai petualangan menikmati hidup seperti ini? Semuanya tentu saja berawal dari foto di bawah ini. Ya, sampai bertemunya saya dengan sang suami pun berawal dari foto di bawah ini 🙂

diklatHayo tebak saya yang mana? Rahasia 😛

Older Entries