Beranda

[Fiksi Blogfam] ± 89 Mdpl

9 Komentar

Empat orang sahabat bernama Latifah, Reno, Hari dan Umar sedang merencanakan sebuah perjalanan untuk mengunjungi kota Jogjakarta. Perjalanan mereka berawal dari stasiun di sebuah kota kecil yang terletak hampir di ujung timur pulau Jawa, Jember. Kereta, bagi mereka adalah sebuah gerbong kenangan yang selalu bercerita. Mulai dari cerita-cerita romantis ala film bollywood yang mendayu-dayu sampai cerita-cerita heroik tentang bagaimana usaha dan perjuangan rakyat untuk membangun jalannya antara anyer sampai panarukan.

Bagi sebagian besar orang, stasiun merupakan tempat perpisahan. Tempat yang menyedihkan dan selalu membangkitkan imajinasi yang buruk. Tempat bagi sepasang kekasih untuk berpisah. Tapi tidak bagi para sahabat ini. Stasiun merupakan tempat yang selalu membuat dada mereka bergemuruh hebat. Kereta adalah sebuah kendaraan yang membuat semangat mereka bergelora. Rel adalah sebuah jalan kebahagiaan untuk memulai imajinasi-imajinasi baru. Ketiganya adalah komponen yang memukau bagi mereka. Melihat ketiga hal tersebut berarti adalah sebuah tanda bahwa perjalanan akan segera dimulai. Mereka tak pernah memaknai bahwa sebuah perpisahan adalah hal yang teramat menyakitkan. Bagi kedua sahabat ini, perpisahan adalah jeda sementara agar mereka bisa mempersiapkan segalanya untuk bertemu kembali dan memulai sebuah perjalanan baru.

Seperti saat itu, ketika mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah kota yang sangat penting bagi mereka. Ya, Jogjakarta merupakan awal dari semuanya. Awal pencarian jati diri dan keyakinan hidup mereka. Perjalanan filosofis yang menempa hati dan jiwa mereka. Mereka berempat yang sama-sama pencinta alam ini merasa butuh untuk melakukan sebuah perjalanan panjang  untuk meyakinkan diri mereka sendiri  tentang pilihan hidup yang telah mereka putuskan.

Mereka sama-sama pencinta alam, namun sangat membenci naik gunung dan menaklukan adrenalin hanya dengan olahraga arus deras ataupun hanya sekedar panjat tebing. Mereka sangat membenci penghijauan yang dilakukan secara seremonial saja, menanam setelah itu selesai. Mereka membenci orang-orang yang berkoar-koar tentang membuang sampah pada tempatnya tapi dia sendiri suka sembarangan. Mereka lebih memilih keluar masuk hutan, melihat kondisi masyarakat yang terpinggirkan, bercengkrama dengan anak-anak kecil yang tak sekolah, menulis tentang kondisi dan keadaan lingkungan yang mereka temui dan sesekali mengabadikannya lewat sebuah foto. Bagi mereka, sudut pandang tentang dunia kepencintalaman lebih dari hanya sekedar naik gunung dan panjat tebing saja. Bukan pula tentang mode dan style ala pencinta alam yang sekarang ini dianggap keren dan berbeda. Ada banyak hal yang butuh diselami.

Berawal dari sebuah landasan pemikiran yang sangat sederhana itu, mereka berdua melakukan sebuah perjalanan menuju Jogjakarta. Salah satu tujuannya adalah agar mereka bisa melihat Jember dari sudut pandang yang berbeda. Terkadang, setiap orang butuh melakukan sebuah perjalanan yang jauh dari tempatnya tinggal agar bisa mengenali kotanya sendiri. Jogjakarta adalah kota tujuan, karena bagi mereka ia begitu istimewa dan filosofis. Menyusuri desa-desa di kaki gunung merapi, desa-desa wisata Jogja, keraton, malioboro sampai gang-gang sempit yang kadang tak pernah dijamah oleh para pelancong.

Jogjakarta, merupakan perjalanan untuk mengenali diri mereka sendiri. Menguji keyakinan mereka tentang pilihan hidup yang telah mereka genggam. Perjalanan yang kelak akan menjadi titik awal bagi mereka memaknai dan menyelami dunia pencinta alam yang sebenarnya.

PromptChallenge Quiz : Rindu Terakhir

12 Komentar

Kulayangkan pandang ke arah jendela, tak ada siapapun disana. Hanya ada kelambu yang tertiup angin. Aku mimpi buruk lagi. Ah, entah sudah yang keberapa kalinya. Kuambil segelas air dari samping tempat tidurku, kemudian perlahan meneguknya. Segar mengaliri tenggorokan.

Jam dinding menunjukan pukul 00.30 WIB. Dini hari yang senyap dan dingin. Lagi-lagi waktu yang sama, dan selalu seperti ini. Apakah ini semua hanya kebetulan belaka? Mimpi buruk yang datang selama seminggu ini pastilah sebuah pertanda. Tapi apa maksudnya? Kenapa sosok dalam mimpiku adalah Rim? Ya, dia adalah tunanganku. Perempuan bermata salju itu akan kunikahi bulan depan. Mimpi-mimpi itu menerbitkan gelish yang tiada tara. Jika hanya sekali, mungkin aku bisa menyebutnya bunga tidur. Tapi ini sudah malam yang ke tujuh aku memimpikannya seperti itu. Ah, aku begitu mengkhawatirkan Rim. Sudah hampir 2 tahun aku hanya bertukar kabar lewat telpon ataupun chat  facebook. Aku begitu percaya padanya. Dan besok, rindu itu akan pecah dengan sendirinya begitu kami bertemu.

Tuhan, jaga Rim untukku. Aku begitu mencintainya…

– – –

Dan rindu itu pecahlah sudah…

Di hadapanku duduk gadis ayu itu. Dengan rambut yang terurai di bahunya, semakin membuat wajah Rim dewasa. Tanpa make up dan selalu tersenyum manis pada siapapun.  Tubuhnya terlihat gendut, mungkin karena memakai gamis yang kedodoran. Namun bagiku, itulah kesempurnaan. Ah, sederhana yang manis. Semanis kenangan saat pertama kali kita bertemu. Ya, saat itu tangan kita tanpa sengaja sedang memegang satu buku yang sama. Di rak perpustakaan kampus lorong kedua bagian fiksi. AKu sangat menikmatinya. Begitupun saat mengenang perjumpaan kita. Sederhana dan manis sekali.

“Net, kenapa melamun sih?” ucap Rim mengagetkanku.

“Tidak apa-apa. Aku hanya mengingat suatu kenangan yang sederhana namun masih terasa manisnya di hati” jawabku sambil memandang matanya.

Kulihat mata rim berkaca-kaca mendengarkan ucapanku. Rona merah menghiasi pipinya yang putih. Ah, bidadariku sedang tersipu malu.

“Net, aku bahagia bisa dekat dan mencintaimu. Kamu orang yang baik. Terima kasih ya! Aku pergi dulu ke apotek, beli obat. Jaga diri baik-baik ya!” ucap Rim sambil mengelus pipiku.

Dia pun berlalu di hadapanku. Dengan langkahnya yang anggun. Sesekali kulihat Rim menoleh ke belakang, memastikan bahwa aku masih melihatnya.

– – –

Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Rim terbujur kaku di depanku. Ya, selang beberapa menit setelah kepergiannya, ada kecelakaan di seberang restoran tempat kami bertemu. Tampak sosok yang begitu kukenal tergeletak di seberang jalan. Ya, Rim ditabrak oleh sebuah mobil. Tabrak lari tepatnya, karena si pengendara mobil ini melarikan diri. Ya, lari dari tanggung jawab. Meninggalkan Rim tergeletak begitu saja meregang nyawa, hingga akhirnya menghembuskan nafas sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.

Disinilah aku sekarang. Di depan jenasah perempuan yang kucintai. Dan mendapati kenyataan menyakitkan tentangnya.

“Apa yang terjadi dengan Rim nak? Apa yang terjadi?”, ujar Mbah Mis sambil terisak.

“Rim kecelakaan Mbah, ada yang menabraknya dari belakang. Rim meninggal sebelum sempat dibawa kemari. Dan bayinya juga tak tertolong. Jenazah mereka harus segera kita urus Mbah. Ini cobaan bagi kita Mbah,” jawabku sambil memeluk Mbah Mis.

“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

“Aku sendiri juga baru tahu kalau Rim hamil Mbah. Menurut analisa Dokter sudah 7 bulan. Pihak rumah sakit sudah mengupayakan untuk menyelamatkan bayinya. Tapi Tuhan berkehendak lain. Kita ikhlaskan ya Mbah” jawabku dengan kalimat setegar mungkin.

Mbah Mis meraung-raung di samping jenazah Rim. Menangisi perempuan yang sebulan lagi akan menjadi istri cucunya. Memang selama aku di perantauan, hanya Rim lah yang setia menemani Mbah Mis.

– – –

Tuhan, ternyata inilah arti mimpi yang kau berikan selama ini. Ternyata pertemuan rindu itu adalah pertemuan terakhir kami. Entahlah, semua ini begitu rumit dan perih. Ya, itu adalah rindu terakhir kami. Tinggal sebulan lagi pernikahan kami, namun Tuhan memang punya rencana sendiri terhadap jalan hidup insan-Nya. Perihal tentang bayi yang dikandung Rim, biarlah hanya Tuhan yang menyimpan semua misterinya. Aku pun tak mau berprasangka buruk pada perempuan yang kucintai. Terkadang Tuhan memang punya cara sendiri untuk memisahkan mahluk-Nya yang memang tak berjodoh. Selamat jalan Rim…

– – – – –

monday

[BeraniCerita #2] MENUNGGU KABAR DARI PABRIK

6 Komentar

Siang belum begitu terik saat kau datang. Sebuah waktu yang janggal bagiku. Tak kulihat mendung bergelayut di langit, namun ada mega hitam yang mengambang di bola matamu. Entahlah, aku merasa ada warta penting yang begitu ingin kau sampaikan. Sebagai seorang istri, aku harus selalu bersiap atas apapun yang ingin kau ceritakan. Begitu banyak gunungan resah di keningmu. Sepertinya, kau butuh kopi panas untuk membuatnya sedikit lega. Meskipun benar-benar tak bisa melegakan.

Lengang tanpa suara. Kita sedang duduk berhadapan di teras belakang rumah. Gemerisik angin meniupkan warta yang sumbang pada dedaun. Sumbang dan panasnya menggeliatkan hati yang resah. Sesekali terdengar cericit anak ayam dan bunyi rokok kretek yang kau hisap. Lama, aku menikmati suasana ini. Sepertinya hati kita sedang saling bicara. Tanpa suara, namun saling merasakan. Aroma kopi menyeruak diantara gelisah yang mengambang.

Aku tahu yang ingin kau sampaikan ini berhubungan dengan pekerjaanmu di pabrik. Ya, hal inilah yang sering kau resahkan selama ini. Entahlah, sepertinya kau memang sudah bisa menebak bahwa akan berakhir seperti ini. Semenjak kau bersikeras mendirikan serikat pekerja untuk menaungi buruh pabrik dimana kau bekerja selama ini, sejak itu pula banyak rintangan yang kita hadapi. Mulai dari intimidasi, ancaman dan teror tak pernah luput dari kehidupan kita. Aku yakin kau hanya ingin keadilan. Bukan untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk seluruh buruh pabrik. Sungguh suatu cita-cita yang mulia. Namun kenyataan yang kau terima lebih pahit dari itu. Sepertinya Tuhan sedang menguji kita. Dan sepertinya Tuhan tidak berpihak pada keadilan dan kesejahteraan yang kau perjuangkan. Ah, tidak selayaknya aku menyalahkan-Nya. Mungkin ini suatu jalan yang memang harus kita lewati.

Kudengar suara lenguh nafasmu, pertanda resah yang memuncak. Harap-harap cemas menunggu kabar dari pabrik. Apa lagi yang akan kita terima, setelah puluhan buruh melakukan mogok kerja esok tadi? Dan aku tahu kau pastilah target utama yang dicari oleh para penguasa pabrik itu.

***

Bau asap mulai tercium samar dan perlahan. Inilah kabar dari pabrik, dan inilah takdir Tuhan untuk kita…

Kita sama sama saling berpelukan di tengah kepulan asap yang mulai menjelaga. Kupegang perut sambil terus berdoa, demi keselamatan anak yang ada dalam kandunganku. Tanganku kau genggam erat. Di seberang jalan ini aku melihat puing-puing bangunan rumah kita mulai habis dilahap jilatan api.

Ya, Tuhan punya cara sendiri untuk mengajari mahluk-Nya belajar ikhlas dan bangkit dari keterpurukan. Dan disinilah kita sekarang, memandang takdir-Nya dengan penuh keikhlasan. Menerima jalan-Nya dengan penuh ketabahan. Bukankah alam masih terbuka lebar dan mau menerima kita kembali? Bukankah itu telah disediakan Tuhan untuk kita? Sudah saatnya kita kembali ke alam, sebelum semuanya binasa pada tangan-tangan yang tak ber-Tuhan…

—***—

“Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma.”

[BeraniCerita #1] JALAN BERKABUT

34 Komentar

Malam terus berjalan dengan dingin dan sunyinya. Kabut menyeruak menggantikan gerimis. Ah, suasana ini begitu mencekam. Kususuri jalanan lengang kotamu. Ya, kota dengan ribuan kenangan di tiap jengkalnya. Kota yang membunuh ingatanmu. Seandainya kau masih mengingat semua itu. Kenangan akan malam yang hangat, pagi yang mesra, siang yang semarak dan senja yang romantis. Masihkah kau ingat tentang itu?

Kuusapkan jemariku yang lusuh pada kursi taman, berupaya membersihkan butiran air sisa hujan petang tadi. Ini adalah hari yang melelahkan dan menyakitkan. Terbang ke kotamu (lagi) adalah perjuangan panjang yang begitu menguras rasa. Dan disinilah aku sekarang, letih tak berdaya dengan segala kenangan yang tertinggal. Terkapar dengan semua kenyataan yang ada. Kenyataan tentangmu dan tentang kita.

Sore tadi, aku sengaja datang ke rumahmu. Berharap bisa memelukmu ataupun hanya sekedar menatap senyummu dari jauh. Namun, yang terlihat dan terasa jauh dari perkiraan kami. Seorang perempuan berambut kusut dan pakaian compang-camping duduk dengan kaki terpasung di sudut ruangan yang kusam. Matanya kosong dan menerawang pada dinding ruangan yang berlumut. Bukan ini yang ingin aku lihat. Tapi pada kenyataannya, perempuan itu adalah kau. Ya, kau Hani. Sulit menerima semua ini. Bahkan sampai sekarang pun aku berharap pada Tuhan bahwa semua yang kulihat tadi adalah tipuan kamera.

Semua orang menganggapmu gila. Bahkan dokter pun menyatakan demikian. Suatu kejadian yang begitu tragis berhasil mengguncang jiwamu dan melenyapkan sebagian besar ingatanmu. Aku tak tahu, apa ini yang disebut adil? Yang aku tahu, aku kehilangan sahabatku. Sosok gadis ceria dengan mata bersinar dan segudang ide briliant tentang dongeng anak. Aku tumbang oleh kenyataan yang tak bisa kuterima sampai sekarang.

Aku tak tahu, takdir apa yang telah disediakan Tuhan untukmu. Apakah masa lalu begitu jahat hingga membuatmu seperti ini? Apakah aku patut menyalahkan sejarah yang salah? Ya, kau adalah korban atas sejarah yang salah. Fitnah keji yang dilemparkan pada Ayahmu membuat jiwamu terpasung sampai sekarang. Inikah cara Tuhan untuk membebaskanmu dari rasa sakit?

Malam semakin temaram, dan aku pun larut di dalamnya. Lunglai dan resah. Mengingatmu sama halnya dengan memunculkan jutaan pertanyaan pada-NYA. Bukan berarti aku ingin menggugat Tuhan. Aku hanya ingin bertanya, kenapa Tuhan menciptakan masa lalu jika hanya untuk menyakitmu?

Kabut mulai turun, meresap di dedaun, lampu kota, kursi taman dan meresap pula di hatiku. Dinginnya menyakitkan. Sama sakitnya ketika aku memeluk tubuhmu yang kosong tanpa jiwa.  Aku yakin, Tuhan punya rencana sendiri atas semua ini. Dan DIA pasti mengobati sakitmu, sakitku, dan juga sakitnya kota ini. Kita sedang melangkah di jalan yang sama. Hanya saja, jalan yang kau lalui penuh kabut tebal. Aku tahu, tanganmu meraba-raba mencari jalan cahaya. Sebentar lagi matahari kan terbit, kabut pasti berlalu. Berjuanglah jalan berkabut itu pasti akan kau lalui…

*****

“Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma.”