Empat orang sahabat bernama Latifah, Reno, Hari dan Umar sedang merencanakan sebuah perjalanan untuk mengunjungi kota Jogjakarta. Perjalanan mereka berawal dari stasiun di sebuah kota kecil yang terletak hampir di ujung timur pulau Jawa, Jember. Kereta, bagi mereka adalah sebuah gerbong kenangan yang selalu bercerita. Mulai dari cerita-cerita romantis ala film bollywood yang mendayu-dayu sampai cerita-cerita heroik tentang bagaimana usaha dan perjuangan rakyat untuk membangun jalannya antara anyer sampai panarukan.
Bagi sebagian besar orang, stasiun merupakan tempat perpisahan. Tempat yang menyedihkan dan selalu membangkitkan imajinasi yang buruk. Tempat bagi sepasang kekasih untuk berpisah. Tapi tidak bagi para sahabat ini. Stasiun merupakan tempat yang selalu membuat dada mereka bergemuruh hebat. Kereta adalah sebuah kendaraan yang membuat semangat mereka bergelora. Rel adalah sebuah jalan kebahagiaan untuk memulai imajinasi-imajinasi baru. Ketiganya adalah komponen yang memukau bagi mereka. Melihat ketiga hal tersebut berarti adalah sebuah tanda bahwa perjalanan akan segera dimulai. Mereka tak pernah memaknai bahwa sebuah perpisahan adalah hal yang teramat menyakitkan. Bagi kedua sahabat ini, perpisahan adalah jeda sementara agar mereka bisa mempersiapkan segalanya untuk bertemu kembali dan memulai sebuah perjalanan baru.
Seperti saat itu, ketika mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah kota yang sangat penting bagi mereka. Ya, Jogjakarta merupakan awal dari semuanya. Awal pencarian jati diri dan keyakinan hidup mereka. Perjalanan filosofis yang menempa hati dan jiwa mereka. Mereka berempat yang sama-sama pencinta alam ini merasa butuh untuk melakukan sebuah perjalanan panjang untuk meyakinkan diri mereka sendiri tentang pilihan hidup yang telah mereka putuskan.
Mereka sama-sama pencinta alam, namun sangat membenci naik gunung dan menaklukan adrenalin hanya dengan olahraga arus deras ataupun hanya sekedar panjat tebing. Mereka sangat membenci penghijauan yang dilakukan secara seremonial saja, menanam setelah itu selesai. Mereka membenci orang-orang yang berkoar-koar tentang membuang sampah pada tempatnya tapi dia sendiri suka sembarangan. Mereka lebih memilih keluar masuk hutan, melihat kondisi masyarakat yang terpinggirkan, bercengkrama dengan anak-anak kecil yang tak sekolah, menulis tentang kondisi dan keadaan lingkungan yang mereka temui dan sesekali mengabadikannya lewat sebuah foto. Bagi mereka, sudut pandang tentang dunia kepencintalaman lebih dari hanya sekedar naik gunung dan panjat tebing saja. Bukan pula tentang mode dan style ala pencinta alam yang sekarang ini dianggap keren dan berbeda. Ada banyak hal yang butuh diselami.
Berawal dari sebuah landasan pemikiran yang sangat sederhana itu, mereka berdua melakukan sebuah perjalanan menuju Jogjakarta. Salah satu tujuannya adalah agar mereka bisa melihat Jember dari sudut pandang yang berbeda. Terkadang, setiap orang butuh melakukan sebuah perjalanan yang jauh dari tempatnya tinggal agar bisa mengenali kotanya sendiri. Jogjakarta adalah kota tujuan, karena bagi mereka ia begitu istimewa dan filosofis. Menyusuri desa-desa di kaki gunung merapi, desa-desa wisata Jogja, keraton, malioboro sampai gang-gang sempit yang kadang tak pernah dijamah oleh para pelancong.
Jogjakarta, merupakan perjalanan untuk mengenali diri mereka sendiri. Menguji keyakinan mereka tentang pilihan hidup yang telah mereka genggam. Perjalanan yang kelak akan menjadi titik awal bagi mereka memaknai dan menyelami dunia pencinta alam yang sebenarnya.