Malam terus berjalan dengan dingin dan sunyinya. Kabut menyeruak menggantikan gerimis. Ah, suasana ini begitu mencekam. Kususuri jalanan lengang kotamu. Ya, kota dengan ribuan kenangan di tiap jengkalnya. Kota yang membunuh ingatanmu. Seandainya kau masih mengingat semua itu. Kenangan akan malam yang hangat, pagi yang mesra, siang yang semarak dan senja yang romantis. Masihkah kau ingat tentang itu?

Kuusapkan jemariku yang lusuh pada kursi taman, berupaya membersihkan butiran air sisa hujan petang tadi. Ini adalah hari yang melelahkan dan menyakitkan. Terbang ke kotamu (lagi) adalah perjuangan panjang yang begitu menguras rasa. Dan disinilah aku sekarang, letih tak berdaya dengan segala kenangan yang tertinggal. Terkapar dengan semua kenyataan yang ada. Kenyataan tentangmu dan tentang kita.

Sore tadi, aku sengaja datang ke rumahmu. Berharap bisa memelukmu ataupun hanya sekedar menatap senyummu dari jauh. Namun, yang terlihat dan terasa jauh dari perkiraan kami. Seorang perempuan berambut kusut dan pakaian compang-camping duduk dengan kaki terpasung di sudut ruangan yang kusam. Matanya kosong dan menerawang pada dinding ruangan yang berlumut. Bukan ini yang ingin aku lihat. Tapi pada kenyataannya, perempuan itu adalah kau. Ya, kau Hani. Sulit menerima semua ini. Bahkan sampai sekarang pun aku berharap pada Tuhan bahwa semua yang kulihat tadi adalah tipuan kamera.

Semua orang menganggapmu gila. Bahkan dokter pun menyatakan demikian. Suatu kejadian yang begitu tragis berhasil mengguncang jiwamu dan melenyapkan sebagian besar ingatanmu. Aku tak tahu, apa ini yang disebut adil? Yang aku tahu, aku kehilangan sahabatku. Sosok gadis ceria dengan mata bersinar dan segudang ide briliant tentang dongeng anak. Aku tumbang oleh kenyataan yang tak bisa kuterima sampai sekarang.

Aku tak tahu, takdir apa yang telah disediakan Tuhan untukmu. Apakah masa lalu begitu jahat hingga membuatmu seperti ini? Apakah aku patut menyalahkan sejarah yang salah? Ya, kau adalah korban atas sejarah yang salah. Fitnah keji yang dilemparkan pada Ayahmu membuat jiwamu terpasung sampai sekarang. Inikah cara Tuhan untuk membebaskanmu dari rasa sakit?

Malam semakin temaram, dan aku pun larut di dalamnya. Lunglai dan resah. Mengingatmu sama halnya dengan memunculkan jutaan pertanyaan pada-NYA. Bukan berarti aku ingin menggugat Tuhan. Aku hanya ingin bertanya, kenapa Tuhan menciptakan masa lalu jika hanya untuk menyakitmu?

Kabut mulai turun, meresap di dedaun, lampu kota, kursi taman dan meresap pula di hatiku. Dinginnya menyakitkan. Sama sakitnya ketika aku memeluk tubuhmu yang kosong tanpa jiwa.Β  Aku yakin, Tuhan punya rencana sendiri atas semua ini. Dan DIA pasti mengobati sakitmu, sakitku, dan juga sakitnya kota ini. Kita sedang melangkah di jalan yang sama. Hanya saja, jalan yang kau lalui penuh kabut tebal. Aku tahu, tanganmu meraba-raba mencari jalan cahaya. Sebentar lagi matahari kan terbit, kabut pasti berlalu. Berjuanglah jalan berkabut itu pasti akan kau lalui…

*****

“Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma.”