Penghujung tahun yang muram. Hujan melanda sedari sore. Orang-orang yang sibuk membuat ritual pergantian tahun mulai resah terhadap hujan yang tak kunjung mereda. Ah, prosesi yang membosankan. Bosan tapi rindu. Entahlah, aku tak dapat menuai dengan pasti perasaan ini. Akhir tahun, hujan dan kehilangan.

Penghujung tahun selalu melayangkan ingatanku padamu. Ya, pada sosok dimana rindu sepat kulabuhkan. Apakah dalam jangka waktu yang tak terbatas? Ataukah hanya sesaat saja? Saat ini aku sedang enggan membahasnya lebih jauh. Biarlah Tuhan yang tahu pasti kebenarannya. Cukup adil kan?

Aku, padamu, kita dan semua pun hilang…

Mengeja namamu adalah sakit yang tak terkira. Ya, sama sakitnya dengan menjalani hidup yang dibayangi oleh kehilangan. Tak jauh beda juga dengan mereka yang hanya bisa merayakan hidup di akhir tahun saja. Ini adalah sebuah analogi gila yang coba kugambarkan di malam pergantian tahun. Lalu, apakah kita harus selalu sakit seperti ini? Setiap saat? Oh tidak, itu adalah hal bodoh. Sesakit dan seperih apapun, hidup harus terus berjalan. Hidup harus dijalani dengan indah, penuh senyum dan canda. Bukankah memang seperti itu cara terbaik menyembuhkan luka?

Ini semua untukmu, dan atas nama rindu hidupku terus berjalan. Ini semua untukmu, dan atas nama rindu yang datang menghunjam lewat gerimis…

Aku tak ingin hanya sekedar menjadi hujan yang menghantui semua ornamen bumi jika turun dengan gilanya. Menebar jutaan polutan yang siap membumihanguskan senja dan malam penuh bintang. Aku hanya ingin menjadi gerimis. Ya, hanya gerimis. Sesuatu yang indah dan sederhana. Kalau boleh aku menggambarkannya, adalah sederhana yang manis. Sesederhana sebuah suasana yang mengobati luka.  Api unggun, gitar bolong, kopi, celoteh riang dan hidup yang terus berjalan…

Ah, gerimis datang lagi. Kali ini atas nama rindu. Manis dan syahdu yang selalu menari dihati, hidup, dan kenanganmu.