Aku mendengar suara orang-orang menjerit. Suasana menyayat hati dan penuh kehilangan. Melihat sesuatu yang sangat dramatis, seorang yang tewas dalam lakon yang dimainkannya sendiri…

Apa motif di balik semua ini? Siapa sebenarnya Mudhoiso? Kenapa hidupnya harus berakhir seperti ini? Mati dalam lakon yang diperankannya? Mengapa aku diminta hadir dalam acara ini? Entahlah…

Runtutan pertanyaan terus membayangi otakku. Semua menuntut untuk ditelusuri satu demi satu. Sebuah pementasan tragis yang tak pernah terbayangkan. Tak mungkin bila mengkaitkan kasus ini atas nama penghayatan peran. Terlalu dangkal dan tak masuk akal, presentasinya akan sangat kecil sekali. Rela mati demi lakon yang dimainkannya. Tapi, bukankah dari presentasi yang kecil itu bisa juga memungkinkan terjadi suatu hal yang besar?

Tak ada yang tau pasti bagaimana kedekatan antara aku dan Mudhoiso. Ya, ada sesuatu diantara kami. Sebagai seorang perempuan yang berusia hampir 40 tahun dan belum menikah, adalah stereotipe yang sangat buruk di mata para pria. Perawan tua yang gila kerja, begitulah umumnya kaum adam memandangku. Tapi tidak dengan Mudhoiso. Lelaki tegap dan tampan itu selalu menghormatiku dengan segala kekuranganku. Banyak orang yang mengatakan bahwa dia hanya memanfaatkanku saja. Ah, tapi aku hidup bukan atas pernyataan orang lain. Cukup hatiku dan Tuhan yang paling tahu, setulus apakah sosok Mudhoiso menambatkan cinta dan hidupnya untukku.

Pagi itu, Mudhoiso sempat mengabariku tentang pertunjukan Wayang Orang BlogCamp Budhoyo yang akan digelar malam harinya. Tentu saja hatiku membuncah bahagia. Karena baru kali ini dia mengijinkanku menonton pementasan. Dari pembicaraannya, aku tahu pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan padaku. Entahlah, aku merasa akan berpisah dengannya. Bahagia menutupi segala firasatku. Padahal, sebagai seorang inspektur hal itu sangat penting untuk dipelihara. Aku menanti malam dengan cemas dan bahagia. Entahlah, mungkin ini adalah perasaan seorang perawan tua yang hendak bertemu dengan sang pujaan hatinya.

Aku terpesona dengan lakon yang dimainkannya malam itu. Mudhoiso adalah sosok yang benar-benar hebat. Pentas itu begitu hidup. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya sesuatu yang memilukan itu terjadi. Ya, sang Cakil mati dalam lakon yang dimainkannya. Miris dan pilu melihatnya mati di depanku. Tepat sebelum layar itu tertutup, dia sempat memandang ke arahku. Ya, menatap ke arahku. Dalam tatapan matanya, ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tugasku adalah untuk mengungkap pesan itu. Pesan sebelum kematian Mudhoiso, lelakiku.

***

Aku lelah, namun hatiku ingin mencari. Entahlah, rasa kehilangan ini begitu melelahkan. Jiwa dan raga. Rasa sakitnya seolah menguras kekuatan hati. Namun aku harus terus mencari dan mencari.

Kucoba menyusuri semua alur peristiwa dan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Semua orang yang ada di pentas tersebut punya potensi untuk dijadikan tersangka. Mulai dari Rikmo, sutradara, tukang rias, tata busana dan semua yang ada disana pasti memiliki keterkaitan satu sama lain.

Ruangan ini kosong, dingin, dan terasa sunyi. Di depanku ada panggung, dengan nasib yang tak kalah menyedihkan. Dikelilingi police line yang membuatnya semakin kusam dan misterius. Tak seperti kemarin, riuh penonton dan alunan gending dari para niyaga membuatnya tampak benar-benar hidup. Polisi juga telah menetapkan Rikmo sebagai tersangka. Namun hatiku berkata lain, pasti ada sesuatu yang masih harus diungkapkan. Secara naluri aku yakin bukan pemeran Arjuno itu yang membunuh Mudhoiso. Karena yang dipegang oleh Rikmo itu adalah keris palsu yang memang digunakan sebagai properti. Entah mengapa polisi masih bersikukuh menangkapnya. Terkadang kita memang harus mengungkapkan sesuatu yang tersirat, dan itu merupakan gerakan melawan arus bagiku. Ah, semoga firasatku kali ini benar.

Kulangkahkan kaki menuju TKP (Tempat Kejadian Perkara). Berjalan mengelilinginya sambil memperhatikan sekitar. Entahlah, aku merasa ada detail aneh. Ya, ada yang aneh dengan layar penutup panggung. Layar hitam penutup panggung ini masih dioperasikan dengan manual. Memakai tenaga manusia untuk menarik tali yang melekat di kedua sisinya. Ah, kenapa aku tak memikirkan detail kecil ini sejak awal.

***

Sudah hampir seminggu ini kuminta Sunggar (selaku Sutradara dalam pementasan tersebut) untuk menghadirkan Martoyo dan Munasib, dua orang penarik layar yang bertugas sewaktu kejadian. Namun hasilnya masih nihil. Murtoyo masih sibuk merawat Ibunya di rumah sakit, sedangkan Munasib sedang ke luar kota karena ada borongan membuat kerajinan rotan selama seminggu. Mereka berjanji akan menemuiku besok, di dampingi oleh Sunggar.

Murtoyo dan Munasib adalah dua orang yang dipercaya oleh Sunggar untuk menarik tali layar panggung di awal dan di akhir pentas. Sebenarnya, peran itu bisa dirangkap siapa saja tanpa harus menambah karyawan baru. Selain sebagai penarik tali layar, mereka berdua juga bertugas sebagai tukang kebersihan dan juga angkut-angkut properti. Bukan tanpa sebab Sungkar mempekerjakan mereka. Latar kehidupan mereka membuat Sunggar trenyuh.

Murtoyo adalah anak laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal ayahnya. Setiap hari dia bergulat untuk menghidupi Ibu dan adik-adiknya. Sedangkan Munasib adalah seorang yatim piatu yang harus menghidupi kelima adiknya yang masih sekolah. Roda nasib membuat mereka selalu berjuang mencari sesuap nasi untuk keluarga yang menantikan mereka di rumah. Bila BlogCamp Budhoyo sepi tanggapan, mereka akan mencari rejeki di tempat lain. Menjadi kuli angkut di pasar, pemulung, pengrajin rotan borongan di luar kota, atau sekadar menolong tetangga membersihkan halaman rumah.

Mengenai pola hubungan keduanya dengan personel lainnya pun dikenal cukup baik. Tak ada sedikitpun riwayat yang buruk mengenai keduanya. Menurut beberapa warga BlogCamp Budhoyo, keduanya adalah sosok yang ulet dan jujur dalam bekerja. Bagiku, semua penuturan itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan mereka.

***

Akhirnya waktu yang kutunggu tiba. Setelah Sunggar mempertemukanku dengan para penarik layar tersebut, kuajak mereka berdua menjenguk Rikmo yang saat itu dirumahkan di Polres Galaxi. Kami bertiga menemui Rikmo di sebuah ruangan khusus dengan ijin untuk melakukan penyidikan lebih lanjut. Saat melihatku datang bersama Murtoyo dan Munasib, Rikmo nampak ketakutan. Seolah-olah dia melihat sesuatu yang menakutkan. Kucoba untuk menenangkannya tapi tetap saja tidak bisa. Bahkan ketika Munasib mencoba mendekatinya Rikmo semakin kalap. Akhirnya petugas membawanya kembali ke ruangannya.

Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Kenapa Rikmo memunculkan reaksi seperti itu. Padahal ketika bertemu dengan yang lainnya juga biasa-biasa saja. Aku merasa ada sesuatu yang janggal dengan ini. Mungkinkah terjadi sesuatu antara ketiganya?

***

Sudah hampir sebulan Mudhoiso meninggalkanku. Dan selama itu pula aku berusaha mencari kebenaran atas kasusnya. Akhirnya kebenaran dipertemukan dengan keadilan. Sebagian penatku tergantikan dengan terpecahkannya kasus ini. Ya, sebuah cerita hidup yang sulit kupahami. Rumit dan penuh simpul.

Dalam pentas wayang orang BlogCamp Budhoyo, Rikmo dan Mudhoiso sering sekali dipasangkan oleh sang sutradara. Entah itu sebagai kawan ataupun lawan. Mereka berdua selalu bertemu setiap saat. Dari sanalah tumbuh benih cinta Rikmo kepada Mudhoiso. Bahkan sejak dulu, Rikmo tlah jatuh cinta kepada Mudhoiso jauh sebelum sang cakil menambatkan hatinya padaku. Di sisi lain, Munasib juga tlah lama menaruh hati pada Rikmo sang pemeran Arjuna yang cantik itu. Berulangkali dia melamar Rikmo, namun selalu ditolak dengan halus.

Terakhir kali pinangan itu diucapkan lagi oleh Munasib sesaat sebelum Rikmo naik panggung dan memerankan lakon sebagai Arjuno. Dengan jujur Rikmo menyatakan tidak bisa menerima pinangan tersebut karena dia sangat mencintai Mudhoiso. Munasib sakit hati mendengar jawaban itu. Gelap mata membuatnya melakukan hal nekat. Dia sengaja menukarkan keris properti dengan keris asli. Karena begitu menghayati peran, Rikmo tak menyadari bahwa keris yang digunakannya adalah keris asli. Saat layar diturunkan itulah, Munasib kembali menukar keris asli yang terjatuh di samping Mudhoiso itu dengan keris properti. Tak ada yang menyadari hal tersebut, karena sewaktu layar diturunkan lampu di belakang panggung dimatikan. Namun ada satu hal yang tak disadari Munasib, saat itu Rikmo melihatnya menukar keris itu. Meskipun lampu dimatikan, Rikmo melihatnya dengan jelas.

Ah, sebuah kisah yang tak pernah kuduga sebelumnya. Semuanya diceritakan dengan gamblang oleh Rikmo. Munasib pun mengamini segala perbuatan yang dilakukannya. Baginya, tak ada orang yang lebih berhak atas Rikmo selain dirinya. Dari Rikmo sendiri aku mendengar, bahwa Mudhoiso berencana meminangku seusai pementasan itu. Ya, lelaki berusia 27 tahun itu hendak melamarku, seorang perawan tua yang usianya hampir 40 tahun. Mudhoiso sendiri yang bercerita pada Rikmo sebelum mereka naik panggung.

Ah, rupanya itu pesan yang ingin disampaikan kepadaku lewat pancaran matanya. Aku tak tahu, lakon apa yang sedang diperankan padaku oleh Tuhan. Rasanya ini terlalu berat dan rumit. Sulit menerima jalan cerita yang begitu tragis ini. Meskipun ada kelegaan perihal keadilan dan kebenaran kasus ini, namun semua ini begitu dingin buatku. Sepertinya lakon yang kumainkan selalu berakhir dengan kehilangan.

Saat kudengar suara jeritan di akhir pentasmu, sejak itu pula hatiku mulai bersiap melepasmu. Ya, hanya sekedar bersiap-siap. Namun setelah aku melihatmu benar-benar tergeletak di balik layar bermandikan darah, sejak itu pula aku yakin bahwa sudah saatnya melepasmu. Melepasmu mati dalam lakon yang kau mainkan…

*****