Akhir-akhir ini, dunia pendidikan sempat dihebohkan dengan serentetan aksi tawuran yang menyebar hampir di seluruh daerah di Indonesia. Entah apa pemicunya, yang pasti beberapa saat lalu tak hanya di kota kota besar saja, wabahnya juga menyerang daerah daerah kecil dan pinggiran. Penyebaran yang begitu luar biasa, seperti halnya virus yang berkembang dengan begitu cepatnya. Berbagai macam formula dikaji untuk menanggulanginya.

Tawuran menjadi potret muram bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini semacam hantaman bagi seluruh komponen dunia pendidikan. Sebuah tanya mulai muncul, solusi dan formula seperti apa yang akan diramu? Benarkah hanya dunia pendidikan yang disalahkan dalam hal ini?

Sistem pendidikan di Indonesia sudah dirancang sedemikian rupa, dengan detail dan pertimbangan penuh. Lalu, ketika muncul kasus ini dimanakah letak kesalahan sebuah sistem? Sebuah sistem pasti membutuhkan perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan jaman. Di Indonesia sendiri, semua sistem termasuk dalam dunia pendidikan sudah banyak diperbarui dan disesuaikan dengan masa yang ada. Lalu, dimanakah letak celahnya?

Lingkungan pendidikan seolah mengemban sebuah kesalahan yang besar. Dengan munculnya kasus tawuran, mulai dari sistem, penerapan berbagai macam peraturan yang memberatkan mulai dikritisi oleh masyarakat. Benarkah hanya dunia pendidikan saja yang mempunyai peran di balik semua masalah ini? Jawabannya, tidak. Ya, bukan hanya dunai pendidikan yang harus dipersalahkan. Tetapi ada dua aspek lain yang tak kalah penting perannya, keluarga dan masyarakat.

Tiga lingkungan (keluarga, masyarakat dan pendidikan) memberikan kontribusi penuh terhadap perkembangan dunia anak. Semua memberikan cara dan sudut pandang yang berbeda beda dalam memberikan pemahaman terhadap sesuatu.

Peran ketiga unsur tersebut dalam upaya menanggulangi tawuran sangatlah penting. Dimulai dari ranah keluarga, tempat dimana anak lahir dan bertumbuh. Pemberian pendidikan karakter sejak dini akan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perkembangan anak di masa depan. Hal tersebut akan memberikan filter otomatis dalam diri anak, sehingga bisa menyaring mana yang baik serta mana yang buruk bagi kehidupannya. Selain itu, perlu kita terapkan juga sikap kepedulian untuk saling berbagi.

Seringkali kita sebagai orang tua lebih menganggap anak sebagai obyek yang dengan mudah dapat kita arahkan sesuai kemampuan kita. Dengan begitu, anak akan jengah dan bosan ketika harus dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya untuk selalu berkompetisi. Ada baiknya, sejak anak lahir berikanlah kepercayaan dan peranan padanya untuk menjadi subyek. Pelaku kehidupan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Filter otomatis itu akan bekerja dengan baik apabila kita menerapkan semuanya sejak dini.

Lingkungan kedua adalah masyarakat. Anak cenderung akan melihat perilaku orang dewasa di sekitar lingkungan rumahnya. Hal tersebut juga akan membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupannya di masa yang akan datang. Karena itu kita wajib memberikan sebuah lingkungan yang sehat dan optimal bagi perkembangannya. Lingkungan masyarakat cenderung akan membentuk pola pikir anak dalam memandang suatu permasalahan, karena kebanyakan contohnya adalah orang orang dewasa di sekitarnya. Kita perlu membentengi anak dari berbagai macam pola pikir dari luar yang akan masuk. Banyaknya tayangan di televisi maupun sosial media tentang berbagai macam kekerasan mampu mengubah pola pikir anak tentang penyelesaian masalah dengan kekerasan. Karena itu, kita perlu memberikan pemahaman yang berbeda tentang penyelesaian masalah tidak dengan cara kekerasan tapi memberlakukan sistem demokrasi.

Disadari atau tidak, pendidikan di Indonesia sekarang ini lebih fokus pada pemerolehan nilai dan hanya sebatas pada sisi kognitif saja. Tiga unsur yang diprogramkan kognitif, afektif, dan psikomotorik tidak berjalan secara seimbang. Penetapan Standar Tingkat Kelulusan oleh pemerintah dengan harapan pemerolehan output yang setara dan sama di seluruh Indonesia seolah menjadi momok yang menakutkan. Sistem yang terlalu ketat membuat mindset pendidikan berubah, lebih mengejar nilai dalam mata pelajaran dan mengabaikan unsur yang lainnya. Hal tersebut akan membuat anak didik jengah, karena terus dijadikan obyek untuk memenuhi standar kelulusan yang baik agar nama sekolah tidak kalah pamor.

Tekanan tersebut akan membuat anak jengah dan mencari penyegaran lain di luar mata pelajaran. Kelelahan akibat dari tuntutan sekolah untuk terus berkompetisi membuat emosi anak tidak stabil. Karena pada dasarnya kompetisi yang membabi buta hanya akan merugikan banyak pihak. Dalam hal ini di lingkungan pendidikan, tidak hanya memberikan keilmuan tanpa diimbangi dengan pendidikan karakter yang kuat. Karena tanpa pendidikan karakter, anak tidak bisa membentengi diri secara optimal dari masuknya pola pikir buruk yang selama ini berkembang di masyarakat. Selain itu, pihak sekolah perlu memberikan sebuah pemahaman yang positif mengenai loyalitas terhadap sekolah. Bahwa lotalitas tidak diwujudkan dengan kekerasan tapi dengan mempersembahkan sebuah prestasi yang membanggakan.

Semoga kita bisa menerapkan formula dan stimulan yang ampuh untuk memangkas budaya tawuran mulai dari lingkungan terkecil di kehidupan kita. Karena, damai itu indah dan membahagiakan… πŸ™‚

*****

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu: Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran