Kalau bingung, simak kisah pertamanya Antara Anggrek, Paing dan Jaeman di blognya Mas Lozz Akbar

***

“Arggghhh, aku nggak bakalan tinggal diam melihat semua ini. Akan kubuktikan pada Paing kalau aku bisa menaklukan hati Anggrek. Kamu itu punya apa Paing, cuma dokar usang yang bau itu. Akan kubuatkan Anggrek istana yang megah. Lihat saja, sebentar lagi akan kubeli tempat ini. Lihat saja, setelah ini kau akan hancur Paing, karena kehilangan tempat tinggal. Lihat saja!”, gerutu Jaeman sambil menendang-nendang ban mobilnya.

“Hallo,,To, Yanto, ini aku bos Jaeman. Segera jemput aku di kebun karet jalan menuju kota. Banku bocor. Cepet ya! kalau dalam waktu 10 menit kamu ndak kesini, tak pecat kamu”, ujar Jaeman dengan pongah lewat blackberry-nya.

***

Sementara itu, di dalam dokar menuju ke kota. Anggrek merasakan sesuatu yang semakin tak menentu. Di tengah semilirnya angin, dia mencoba menentramkan hatinya yang dag dig dug ser gak karuan. “Kang Paing, Anggrek bingung..”, ucapnya seraya memainkan tangannya.

“Bingung kenapa Nggrek, hidupmu kan sudah enak. Rumah magrong-magrong, uang tinggal minta, bingung apa lagi sekarang?”, sahut Paing.

Deg, Anggrek menunduk. Hatinya semakin galau, apalagi setelah mendengar pernyataan Paing. Ya, paing yang selama ini sangat disayanginya. Paing yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Paing yang sudah memunculkan rasa-rasa yang seharusnya tak boleh terjadi. Paing adalah segalanya bagi Anggrek. Namun, barusan dia berkata seperti itu. Anggrek semakin resah.

“Kang, kenapa menilaiku seperti itu? Aku nggak butuh semua itu Kang. Secara materi memang lebih dari cukup. Tapi tidak di sini, di hati. Hatiku belum cukup bahagia dengan semua itu. Apa gunanya harta melimpah kalau hati nggak bahagia. Tapi aku sangat bahagia jika ada di dekatmu. Ayem Kang…”, ucap Anggrek seperti rentetan peluru yang siap menghunjam Paing.

Paing semakin gelisah. Tangannya memegang kendali kuda, tapi pikirannya melayang jauh ke depan. Rentetan pertanyaan dari Anggrek benar-benar menghunjam hatinya. Hati yang akhir-akhir ini memang sedang terombang-ambing. Dan akhirnya menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan untuk sekedar menanggapi perkataan Anggrek.

Selama perjalanan, sunyi seakan mengunci mulut mereka. Angin pun sibuk memainkan hati mereka yang sama-sama resah. Resah untuk mengakui rasa. Hingga perjalanan pulang sampai di depan rumah Anggrek, sepi masih menduduki mereka. Hati ingin membagi banyak hal, namun mulut tak mau berkompromi. Sampai akhirnya semua larut pada rasanya masing-masing.

***

“Pokoknya Bapak harus melamar Anggrek untukku. Apapun caranya, anaknya Pak Carik Marmo harus jadi milikku. Aku wes kepengen cepet nikah Pak”, ucap Jaeman begitu sampai di ruangan Bapaknya.

“Kamu ini kenapa to Man? Ndak ada angin ndak ada hujan tiba-tiba minta nikah. Kamu nggak tau kalau Bapakmu ini masih puyeng dengan proyek kita yang diganjel sama Pak Carik. Eh, ini malah minta nikah sama anaknya Pak Carik. Piye to kowe iki?”, bentak Den Mas Blontang pada anaknya.

“Lho, diganjel gimana to pak maksude? Bukannya bukit Sukmo Ilang sudah jadi milik kita? Trus hubungane sama Pak Carik opo Pak? Waduh, ndak ngerti aku…” ucap Jaeman sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Bukit itu memang sudah jadi milik kita. Tapi kamu harus ingat, desa ini punya satu gumuk yang di dalamnya tersimpan kilauan emas. Dan hanya kita yang tahu. Ya, di gumuk Marada. kalau gumuk itu jadi milik kita, kita nggak akan pernah mati kelaparan bahkan sampai 7 turunan sekalipun nggak usah kerja. Nah, Pak Carik tidak setuju kalau ada eksploitasi di gumuk itu. Sok alim dia, mau jadi pahlawan kesiangan. Nah, ini yang buat aku mumet, soalnya sudah ada investor yang bersedia Man. Piye iki?”, ungkap Den Mas Blontang dengan nada suara khawatir.

“Walah, kalau cuma itu kecil pak. Ngapain bapak takut Pak Carik jadi ganjel. Semua keputusan itu kan Pak Lurah yang menyetujui, bukan Pak carik. Tenang saja Pak, kita pasti akan tambah kaya dengan proyek ini. Gampang pak ben aku sing ngatur”, kata Jaeman dengan pongahnya.

“Lha, iku masalahe Man. Pak Lurah itu nggak punya keberanian dalam mengambil keputusan. Semuanya pasti melalui pertimbangan Pak carik. Apa kamu lupa? Proyek bukit sukmo ilang itu kan bisa deal kalau kita sanggup melakukan reboisasi di kawasan eksploitasi, dan sampai sekarang belum terlaksana. Aku takute gak bakalan didealkan sama Pak Carik karena kita belum memenuhi persyaratan yang dulu. Huh, mosok kita mau nglakoni hal yang muspro. Mbuang duit buat beli bibit tanaman gak jelas”, ucap Bapaknya Jaeman sambil memegangi kepalanya.

“Wis Pak, tenang. Biar Jaeman yang nangani proyek ini. Gampang Pang. Mosok Bapak ndak percaya sama anake yang lulusan perguruan tinggi terkenal di kota”, sahutnya sambil menepuk-nepuk dada dan tersenyum licik.

***

Sementara itu, di teras sebuah rumah kecil yang sederhana, terlihat Paing sedang duduk. Dari raut mukanya tergambar jelas kalau ia sedang gelisah. Gelisah dan resah oleh pertanyaan yang meluncur begitu saja dari perempuan yang selama ini dia sayangi. Ya, baru dia sadari kalau rasa sayangnya ke Anggrek semakin tumbuh subur dan kuat. Ketakutan-ketakutan mulai muncul. Beraneka gambaran tentang masa depan seolah muncul di hadapannya seperti potongan slide, kadang membuatnya tersenyum tapi tak jarang pula membuatnya meringis.

“Anggrek, bunga desa yang memiliki senyum semanis kopi. Begitu dekat jarak kita, namun rasanya begitu jauh untuk menggapaimu. Keadaan kita ibaratnya langit dan bumi. jika memang Gusti Allah menakdirkan kita bersama, apakah kau akan tetap tersenyum manis jika kita tak punya beras? Apakah matamu akan tetap teduh jika sudah tak ada lagi kopi dan gula untuk diseduh? Apakah pelukanmu akan tetap hangat jika nanti kau kuboyong untuk hidup di hutan bersamaku? Apakah kau akan tetap ceria jika hanya ada ubi untuk kita makan? Apakah kau akan tetap di sampingku jika aku memutuskan untuk hidup sederhana tanpa minyak goreng? Aku ingin hidup bahagia denganmu tanpa embel-embel apapun. Hidup bahagia di lingkungan yang sehat, jauh dari tangan-tangan serakah yang nantinya hanya akan membuat anak cucu kita bertanya tentang hijaunya pepohonan dan birunya laut. Anggrek, maukah kau hidup sederhana denganku? Sesederhana lagu yang sering kita nyanyikan? Memanfaatka apa yang ada di sekitar kita. Ah, Anggrek. Aku sangat berharap kaulah yang akan menjadi penamat kronologi dukaku. Kabulkan do’aku gusti..” gumam Paing seorang diri sambil mengingat-ingat lagu favoritya dan Anggrek.

Asal ada ubi untuk dimakan

Asal ada babi untu dipanggang

Aku cukup senang…

dan Akupun senang…

Sebenarnya bukan masalah Anggrek saja yang memenuhi kepala Paing. Masalah utang-utang orang tuanya pada keluarga Anggrek, masalah Jaeman yang mulai gencatan senjata pada penduduk kampung untuk menyetujui ijin eksploitasi gumuk marada, masalah orang-orang berdasi yang mulai mengancam Pak Carik, masalah orang-orang baik pembela desanya yang tiba-tiba hilang begitu saja. Semuanya menumpuk jadi satu dalam kepalanya, seolah-olah ingin segera dilepaskan.

***

“Ma’af ya Dik jaeman. Anda tau sendiri kan? Akhir-akhir ini desa kita sering banjir, separuh dari perbukitan sukmo ilang juga sudah longsor. Semua ini gara-gara saya menyetujui rencana eksploitasi mangan dengan syarat harus ada peremajaan lagi di kawasan itu. Tapi sampai sekarang janji Bapaknya sampeyan itu belum ditepati. Kalau saya memberi ijin eksploitasi di gumuk Marada, wah bisa hancur desa ini Dik. Bukannya saya mau sok cinta lingkungan Dik. Sekali lagi maaf Dik”, ucap Pak Carik Marmo memberikan pengertian kepada Jaeman.

“Wah, Pak Carik ini. Saya kemari nggak mau ngomongin soal lingkungan kok Pak. Janji bapak saya akan segera kami selesaikan Pak. Sekarang ini kita masih nyari bibitnya kok Pak. Berarti setelah penghijauan ini kita bisa segera dapat ijin untuk eksploitasi gumuk Marada ya Pak? Tenang saja Pak, nanti Bapak dapat bagian 50%. Lumayan lho Pak, bisa dipake buat hura-hura sampai tujuh turunan”, kata Jaeman tak mau kalah.

“Lha, ini yang salah. Dik jaeman kira saya ini mata duiten. Sekali ndak bisa tetep ndak bisa dik. Kasihan warga desa ini dik kalau sampai marada dieksploitasi. Maaf Dik, sekali lagi ndak bisa”, Pak Carik Marmo tetap bersikukuh pada pendiriannya.

“Kalau masih kurang, Bapak akan saya bangunkan istana yang megah di desa ini. Tolonglah Pak, investornya sudah ada yang berminat. Kalau sampai proyek ini gagal, Bapak saya akan rugi besar Pak. Apapun akan saya lakukan untuk proyek ini. Pak Carik mau minta apa saja pasti akan kita penuhi. Tolonglah Pak”, Jaeman mulai merajuk.

“Maaf dik, saya tidak tertarik dengan tawaran adik. Sekali lagi maaf ya, saya ada rapat di kecamatan. Maaf ya, saya tinggal dulu”, ucap Pak Carik sambil meninggalkan kantornya.

Jaeman terduduk lemas. Cara apapun yang dilakukan belum bisa menggoyahkan pendirian Pak Carik. Dia berpikir keras, dengan cara apalagi dia harus menggoyahkan Pak Carik. Tiba-tiba Jaeman tersenyum licik. Ya, dia tahu caranya. “Hahahaha, aku tau. Cara ini akan membuatmu bertekuk lutut kepadaku”, gumam Jaeman dengan wajah liciknya.

Bersambung…

Bagaimana kelanjutan kisah ini? Mampukah Jaeman menaklukan pendirian Pak carik dengan caranya? Bagaimana nasib Gumuk Marada selanjutnya? Apakah Anggrek siap menjadi penamat kronologi duka si Paing? Daripada bingung dan banyak tanya, saksikan kisah selanjutnya di Mas Bro, sudah disediakan kopi lho di sana. Cekidot…

Artikel ini diikutsertakan dalam Pagelaran Kecubung 3 Warna di newblogcamp.com