Suatu hari, Mas Eru Vierda menghubungi saya. Dia sedang punya gawe Giveaway My First Journey, dan meminta saya untuk menjadi juri. Wow. Agak sedikit kaget sih sebenarnya. Kenapa harus saya ya yang jadi juri? Takutnya, ada sedikit kekhawatiran dari peserta yang ikut. Jurinya koq enggak banget sih? Kayaknya bukan travel blogger deh, gak pernah nulis tentang mengunjungi suatu tempat yang keren. Ih jurinya kan pemabok (mabok darat) berat, gak yakin deh dia sering jalan-jalan. Segala pertanyaan itu terus terang menghantui saya. Hahahaa…
Akhir-akhir ini entah mengapa perjalanan selalu diidentikan dengan tempat wisata yang keren. Petualangan selalu juga diidentikkan dengan kegiatan alam bebas. Atau kalau nggak sebuah upaya eksplorasi yang kadang malah menjebak kita pada rusaknya potensi yang ada. Menurut saya perjalanan tak hanya sebatas pada destinasi saja. Tapi lebih pada intisari dan esensinya. Agar kita melihat dan merasakan apa yang kita temui. Lebih daripada itu, melakukan perjalanan adalah sebuah keputusan berani untuk menikmati hidup dengan cara yang berbeda. Meskipun sekarang ini hal seperti itu sudah sangat menjamur dan sedikit meleset dari apa yang saya bayangkan.
Jujur, saya selalu salut dengan mereka yang sering melakukan perjalanan kemudian menuliskannya di blog lengkap dengan foto-fotonya. Saya sendiri takut untuk melakukan itu. Ya, seringkali ketika mengunjungi suatu tempat saya akan sangat menahan diri untuk menuliskannya. Meskipun seringkali saya selalu tidak bisa menahan diri untuk upload fotonya di jejaring sosial. Pada akhirnya, saya ketakutan sendiri.
Seorang kawan, Ayos (pengelola Hifatlobrain) bahkan memutuskan tidak lagi menerima dan menulis kisah perjalanan yang berpotensi mencederai kualitas alam. Ada semacam perasaan berdosa ketika secara tanpa sadar kita turut serta melukai alam lewat tulisan ataupun foto yang menawarkan gambaran utopis suatu tempat. Arman Dhani juga pernah menuliskan tentang bagaimana keresahannya ketika sebuah stasiun TV swasta menayangkan sebuah acara untuk mengeskplore tempat-tempat yang masih perawan dan belum tersentuh. Saya sedih dan sedikit terpukul membaca tulisan dua kawan ini. Apakah saya juga termasuk di dalamnya?
Lho, ngomong apa saya di atas ? Sepertinya ngelantur. Oke, kembali ke topik utama ya:) Anggap aja yang di atas itu sekedar intro.
Segala hal besar, dimulai dari langkah pertama. Suatu perjalanan, juga diawali dengan langkah pertama. Tanpa itu, semuanya tak akan terwujud.
Dari keseluruhan peserta yang ikut, mempunyai pengalaman pertama yang luar biasa. Salut untuk semua peserta. Kisah-kisah yang dituliskan seolah hidup. Rasanya pingin deh milih semuanya jadi pemenang. Tapi sohibul hajat hanya memutuskan untuk memilih 4 orang pemenang saja. Penilaian yang saya lakukan dalam penulisan kisah perjalanan saya titik beratkan pada 4 unsur. Rekreatif, informatif , edukatif, dan kelengkapan pemenuhan syarat yg ditetapkan. Di luar 4 unsur itu ada beberapa unsur pengikat lainnya. Diantaranya detail penceritaan, pengambilan ide, keunikan cerita dan pemilihan diksi yang tepat.
Terima kasih juga telah membawa saya menikmati bagaimana beratnya pendakian ke puncak gunung Lawu, Gede Pangrango, Sindoro Sumbing, Tangkuban Perahu dan Raung. Ada juga yang membawa saya ke Jerman, Lombok, Bandung, Bantimurung dan beberapa tempat lainnya. Terima kasih juga atas kenangan sewaktu bersepeda, pramuka, merantau, mencari kerja, perjuangan menuju masa depan sampai pada sebuah impian mulia menjadi dokter. Sungguh sebuah langkah pertama yang begitu mengesankan. Terima kasih sudah mengijinkan saya untuk menikmatinya.
Ada satu hal yang sulit kita bedakan. Saya juga pernah seperti itu. Perjalanan itu akan sangat menyenangkan bila dilakukan tanpa beban. Kalau ada beban, sudah bisa dipastikan saat itu kita sedang berlari. Sadar atau tidak. Tapi saya pribadi percaya, bahwa perjalanan adalah obat tak terkira untuk menyembuhkan luka. Ini semacam perjalanan hati yang juga membutuhkan proses yang begitu luar biasa. *Koq jadi curhat? Dikeplak pakai carier cagak :v *
Perjalanan selalu mengajarkan sesuatu. Tergantung pada si pemilik raga, apakah dia dapat mengambil hikmah atau hanya sekedar melewatkannya. Bukan semata tentang puncak gunungnya, tapi tentang menikmati sebuah perjalanan. Mengenali batas-batas kesanggupan dan kelemahan, bersabar dan bersahabat dengan keadaan, serta pada akhirnya merendahkan diri di hadapan Sang Pemilik Segala Ciptaan.
Cara menikmati hidup setiap orang memang berbeda. Meski kadang cara menikmati harus bertentangan dengan ladang yang sedang dihuni belalang. Untuk mengawali perjalanan hanya tentang melawan rasa takut dan malas. Setiap puncak mempunyai medan perjalanan yang berbeda. Hanya dengan memulainya kita akan tahu cara menghadapi. Puncak tidak akan pernah didapat tanpa langkah awal. Bahkan karena takut dan malas tidak akan ada sekedar cerita tentang perjalanan. Sebelum membunuh waktu, kita harus bisa membunuh rasa takut dan malas untuk memulai.
Itu semua adalah langkah awal yang keren. Terima kasih semuanya. I love you all :* Lalu, apakah saya juga punya langkah pertama untuk memulai petualangan menikmati hidup seperti ini? Semuanya tentu saja berawal dari foto di bawah ini. Ya, sampai bertemunya saya dengan sang suami pun berawal dari foto di bawah ini 🙂