Sebagai perantau, tidak mudah memilih makanan yang akan disantap setiap harinya. Untuk yang belum berkeluarga lebih gampang dan leluasa menentukan akan makan apa hari ini. Tentu berbeda dengan yang sudah berkeluarga, apalagi anak dan istrinya tidak ikut serta. Ketika makan enak, bayangan anak dan istri di rumah yang makan seadanya jelas membuat tak berselera dan berkaca-kaca. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana cara menghemat uang agar bisa dikirimkan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga di rumah. Kadang disiasati dengan memasak sendiri, tapi kadang hal itu tidak sesuai dengan waktu dan kesibukan kerja. Jadi, memasak hanya bisa dilakukan ketika libur kerja. Itupun dengan menu sederhana. Nasi putih, mie instan dan telor. Mereka kadang tidak butuh memperhatikan kecukupan asupan gizi yang masuk. Asalkan kenyang dan bisa tidur sudah cukup. Makan sekali dalam sehari sudah cukup. Kalau lapar minum air putih yang banyak. Begitulah kehidupan para perantau.
Rendra, adalah teman saya yang merantau ke Bali. Di Bali Renda menjadi pengemudi taksi. Saat merantau, istri dan anaknya tak turut serta. Saya dan Rendra mengobrol santai seputar kesehariannya selama bekerja di Bali. Obrolan kami akhirnya terfokus pada, apa sih makanan yang dimakan setiap harinya jika beli? Menurut Rendra, jika sedang sepi penumpang, setiap harinya ia memilih membeli nasi jinggo. Murah meriah. Sebungkus hanya Rp. 5000,-. Tidak mengenyangkan sih, tapi menurutnya cukup. Jika menunya nasi jinggo, ia akan makan selama dua kali sehari. Karena ya itungannya masih murah. Menu ini sangat diandalkan kalau musim sepi (di luar masa liburan). Biasanya disandingkan dengan mie instan untuk pengiritan.
Selain nasi jinggo, Rendra kadangkala juga membeli Nasi Campur Bali. Nasi Campur Bali ini harganya tergantung dari lauk apa yang diambil. Semakin banyak macam lauknya ya semakin mahal. Cuma kalau Nasi Campur Bali ini enaknya karena ada sayurnya sehingga lumayan lah buat menambah asupan gizi. Dalam satu bungkusnya terdiri dari serundeng, ayam suwir bumbu merah pedas, sayur oseng dan juga mie. Nah, yang khas dari semua masakan Bali adalah ada sambal matahnya. Ini yang membuat spesial. Lauk tambahannya pun bisa macam-macam sesuai permintaan. Ayam goreng, sate lilit, empal daging, perkedel goreng, ikan lau goreng dan lain sebagainya. Kalau hanya pesan yang standar kisaran harga Rp. 7000 hingga Rp. 10.000,-. Bedanya dengan nasi jinggo, nasi campur Bali lebih banyak porsinya. Apalagi kalau yang menjual dari daerah Jawa. Rendra menyebutnya porsi kuli. Karena nasi dan sayurnya banyak sehingga cukup mengenyangkan. Warung langganan Rendra adalah Warung Jember. Sebuah warung yang dikelola oleh orang Jember di wilayah Jaba Jero, Kuta.
Saya bertanya pada Rendra, masakan rumah apa sih yang paling dirindukan selama ada di perantauan? Dengan tegas dia menjawab, ikan tongkol goreng dan genjer. Itu adalah menu wajib ada kalau pulang. Bukannya di Bali tidak ada ikan tongkol, tapi rasanya beda. Lidah gatal seusai memakannya. Selain itu, kalau mau beli juga mahal karena harus satu ekor utuh. Tidak dipotong-potong seperti di wilayah Jember. Kalau genjer, di Bali mungkin ada, hanya saja Rendra belum pernah menjumpainya. Sayur untuk pecel umumnya di sana hanya menggunakan bayam, kayang dan kecambah. Karena kalau pulang, selalu menu wajib itu yang disediakan istri tercinta di atas meja makan. Tapi yang paling dirindukan adalah makan dan berkumpul bersama dengan anak istri menikmati menu seadanya di meja makan rumah.
Selama di Bali, Nasi Campur Bali dan nasi jinggo lah yang selalu setia menemaninya bertahan hidup. Oh, dengan mie instan juga tentunya. Karena sebagai perantau, Rendra dituntut cerdas dalam mengelola uang dan tentu saja cermat dalam memilih lauk makanan. Urusan enak tidak enak itu belakangan, yang penting kenyang. Dan utamanya, asap dapur di rumah tetap bisa mengepul.
Kalian yang mungkin sekarang sedang menjadi perantau, apa makanan yang setiap hari kamu santap? Lebih memilih memasak atau membeli?