Beranda

GAM Pulang ke Panaongan*)

22 Komentar

Gam, mendung dan es buahnya

Gam, Es Buah dan Mendungnya 🙂

Jangan terburu-buru mengernyitkan kening ketika membaca judul di atas. Tenang saja, ini bukan untuk membahas organisasi itu. Ini adalah tentang Gam. Adik saya dari Aceh. Dia baru tiba ke Jember kemarin, dan kemungkinan sampai beberapa minggu ke depan. Seperti kebanyakan kebiasaan di dunia pencinta alam, setiap anggotanya memiliki nama lapang tersendiri. Gam adalah nama lapang yang diberikan oleh organisasi pencinta alam Mahadipa (Mahasiswa Divisi Pencinta Alam) Fak. Teknik Unej. Semasa kuliah dulu, Gam adalah anggota disana. Nama aslinya adalah Pujiono.

Dulu semasa kuliah, Gam sering sekali ada di Panaongan. Waktu bulan puasa juga kita rame-rame jual es buah di double way Unej. Ah, itu sudah setahun yang lalu rasanya. Mungkin juga lebih. Saya tidak tahu pasti, dan malas mengingat angka-angka. Hehe. Dan kurang lebih sudah setahun ini juga Gam pulang ke kampung halamannya di Aceh. Berwirausaha disana, dan tentu saja tidak mengabaikan semua yg pernah dia dapat ketika di Jember.

Jualan es buah rame-rame

Jualan Es Buah Rame-Rame Bareng Gam, Kelor, dll

Di Fakultas Teknik dia mengambil jurusan mesin. Urusan bongkar pasang mesin sepeda sudah tak asing lagi baginya. Tak heran, ketika pulang ke Aceh dia berwirausaha, membuka bengkel. Selain untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatnya, juga untuk membuka lapangan kerja meskipun bengkelnya masih terbilang kecil. Hari ini saya melihat Gam lebih matang. Ya, meskipun gaya kocaknya masih tetap. Dialeknya berubah-ubah ketika berbicara. Kadangkala ada sedikit logat aceh yang seringkali membuat saya tergelak. Kadangkala memakai bahasa Jawa dicampur dengan Indonesia. Sungguh beragam pembicaraan kami malam ini.

Bersama Bagus dia ke rumah. Dia membawa kopi Aceh sachetan, satu kantong plastik keripik singkong, dan seplastik kue bawang. Saya segera menyeduh kopi yang dibawanya. Aroma dan rasanya khas. Namun bagi saya pribadi, racikan kopi sachetan, apalagi yg dicampur dengan gula rasanya terlalu manis. Gam bilang, dia sudah berusaha mencari kopi Aceh bubuk asli deplokan sendiri, tapi tidak ada. Ketika itu sudah malam, jadi agak susah untuk mencarinya. Akhirnya lelaki penggemar lagu melayu ini pun membawa yang dalam bentuk sachetan. Kopi plus gulanya.

Gam dan Kopi Acehnya

Oleh-oleh dari Gam semalam 🙂

“Mbak, kue-kue ini home industri lho, buatan sendiri”, ujarnya pada saya.

Lalu Gam bercerita, keripik singkong dan kue yg dibawanya itu adalah buatan Ibu-Ibu di Dusun Sumber Agung Desa Bukit Tiga Kecamatan Peunaron Kabupaten Aceh Timur. Sudah hampir 5 bulan ini Gam melakukan pendampingan terhadap Ibu-Ibu di sekitar rumahnya untuk membuat home industri semacam ini. Ketika saya tanya, apa motivasinya melakukan itu. Kenapa ia begitu tertarik dengan kondisi sosial di lingkungan sekitar rumahnya? Hanya satu jawaban yang Gam lontarkan. Biar Ibu-Ibu disana nggak nggosip terus. Saya dan teman-teman yang mendengar langsung tertawa ngakak. Tapi sebenarnya jauh di kedalaman hati kami, pernyataan tersebut sungguh teramat ‘Mak Jlebbb’.

Dengan perasaan yang masih sebegitu Mak Jleb, saya mencoba menikmati keripik singkongnya. Rasanya sangat gurih. Berbeda dengan keripik singkong disini. Gurih beraroma bawang. Saya mengira itu memang dikasih bawang, ternyata perkiraan saya salah besar pemirsa. Menurut Gam, singkongnya memang mendapatkan perlakuan khusus sebelum digoreng. Tentu saja hal ini melewati beberapa trial dan error. Jadi, singkongnya dipotong-potong terlebih dahulu. Dipotong sesuai dengan ukuran keripik. Kemudian direndam sehari semalam di dalam air. Nah, dari proses rendaman itu nanti akan menyisakan pati. Endapan butiran halus dari singkong tersebut. Setelah sehari semalam, singkong ditiriskan dan digoreng. Nggak pakai bumbu apa-apa. Nah, pati yang mengendap tersebut dijemur hingga menjadi tepung. Jadi semuanya bisa dimanfaatkan. Setelah digoreng, keripik itu dibumbui garam saja. Dikocok-kocok pakai garam. Itu saja bumbunya. Entah kenapa, rasanya teramat gurih. Saya tidak tahu, apakah disini juga memakai perlakuan yang sama seperti itu. Cuma, kalau di sini bumbunya sudah beraneka ragam. Mungkin lebih banyak penyedapnya. Tapi keripik yg dibawa Gam ini, cuma dibumbui garam saja, gurihnya sudah sangat luar biasa. Mungkin juga karena efek dan suasana kami yang sedang beromantisme dan berbagi kenangan.

Ah, gurih nian hidupmu Gam…

Kalau mengingat Gam, saya selalu mengingat kisah-kisah lucu antara dia dan dulur-dulurnya di Mahadipa. Antara otot-ototannya dengan Bencot. Engkel-engkelan dengan Lelet ataupun Gabug dan juga Cempluk. AH, kangen kalian semua.

“Cot, coba tengoklah airnya tu sudah mendidih Lay”, ujar Gam berteriak

“Tengok-tengok, apene ngomong ndelok ae tengok!”, Bencot menimpali dengan tak kalah seru membentak.

“Sudah dikacau kopinya ini Cot?”, tanya Gam suatu ketika.

“Opone seh sing dikacau? Huh!”, Bencot menimpali dengan tak kalah heboh.

Argghhh, pertengkaran mereka berdua selalu kurindukan. Haha. Bencot dan Gam ketika bertemu selalu bertengkar. Kadang mereka mempertengkarkan hal-hal yang remeh. Tapi disitulah sisi romantisme yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidupnya. Hehe. Kalau jauh, mereka pun akan saling merindukan. Dan tentu saja, gengsi untuk mengakuinya. Hehe.

Dan malam ini kami (Mas Vj Lie, Mas Mbudi Hartono, Bagus Adi Susanto, dan Gam) menikmati kopi aceh dan cemilan yang keren dari Gam. Dengan segudang cerita dan kenangannya. Tiba-tiba, kami pun teringat dengan sebagian dari kami yang sekarang di Jakarta. Mereka sudah ngopi belum ya? Tapi tenang saja, kopinya akan kusimpan buat Mas RZ Hakim dan Dieqy Hasbi Widhana. Tapi, sayang sekali M Afwan Fathul Barry tidak bisa menikmatinya. Karena sepertinya dia akan menetap lama di Jakarta.

Ini, kukirimkan aroma kopi aceh yang kubuat dari Jember untuk kalian semua yg disana. Spesial juga buat mas Fawaz Al Batawy yang ada di Bangko, mas Ananda Firman Jauhari yang juga di Bangko, dan mas Okta Lunk juga.

*) GAM, disini bukan Gerakan Aceh Merdeka, tapi nama adik saya 🙂

—**—

*Catatan Gak Penting*
Tiba-tiba nulis status sepanjang ini. Gak terasa. Modus apa cobak? Kangen sama siapa cobak? Haha. Abaikan poin cacatan yang gak penting ini. Diskip aja pemirsa

Kopi dan Tempe Goreng : Aroma Rindu yang Menguatkan

9 Komentar

Ketika berada jauh dari orang tua, mau tak mau kita harus punya cara untuk mengatasi rindu yang kadangkala muncul dengan kuatnya. Belum lagi bila pada saat-saat tertentu itu mengingatkan kita pada sebuah kenangan manis di masa silam. Ah, betapa menyiksanya sebuah rindu bila kita tak bisa menuntaskannya dengan indah.

Mulai tahun 2004 sampai saat ini, saya merantau ke sebuah kota kecil yang letaknya hampir di ujung timur pulau Jawa. Ya, saya berkuiah di kota Jember, hingga kemudian menikah dan memilih untuk tinggal di Jember. Jarak antara Jember dan kota kelahiran saya (Tuban) sangatlah jauh. Apabila ditempuh menggunakan bis, bisa memakan waktu antara 8-10 jam. Hal tersebut membuat saya jarang pulang, belum lagi ditambah dengan faktor x (baca:mabok darat) membuat kepulangan saya sangat jarang. Setahun hanya sekali, itupun bertepatan dengan libur lebaran. Pada libur lebaran biasanya saya hanya pulang selama seminggu, setelah itu kembali lagi dengan aktifitas di Jember. Bisa dibayangkan betapa sedikitnya kebersamaan saya dan orang tua. Setiap kali kerinduan itu datang, saya akan cepat-cepat menuntaskannya. Salah satu cara sederhananya adalah menghirup aroma kenangan yang pernah terlintas di indera penciuman ini. Ya, hanya ada dua aroma yang bisa benar-benar mengobati kerinduan ini. Aroma kopi dan tempe goreng.

Bob, Kopi Pahit dan Pelajaran Bertahan Hidup

Aroma kopi selalu mengingatkan sosok lelaki berambut gondrong, yang selalu menguatkanku dengan prinsip-prinsip hidupnya. Lelaki yang usianya semakin merambat namun masih terlihat begitu muda di mataku. Saya biasa memanggilnya Bob. Ya, dia adalah Bapakku. Ada banyak filosofi kehidupan yang bisa diambil dari secangkir kopi pahit yang diteguknya. Semua itu memantikkan kerinduan-kerinduan tersendiri ketika jauh darinya. Rindu dongengnya, rindu canda tawanya, dan rindu pula menyecap secangkir kopi pahit miliknya.

Suatu ketika, saya pernah bertanya padanya. Bob, kenapa suka kopi pahit? Bukankah rasanya gak enak? Kemudian Bob menjawab, Nak, kopi itu rasanya memang pahit. Kamu harus merasakan segala sesuatu yang pahit dulu untuk naik tingkat ke rasa yang lebih manis. Biasakanlah minum kopi pahit, agar kau tak kaget. Sewaktu itu aku masih sangatlah kecil, belum mengerti pada makna jawaban Bob. Dan sejak saat itu, akupun mulai minum kopi pahit.

Setelah remaja, saya baru bisa memahami atas jawaban yang Bob berikan dulu. Sebenarnya sangat sederhana, membiasakan minum kopi pahit berarti membiasakan diri untuk menghadapi masa-masa sulit. Pernah suatu ketika, keadaan ekonomi kami sedang sekarat. Kami tak mempunyai cukup uang untuk membeli gula. Kemudian Bob berkata, Syukurlah anak-anakku telah terbiasa minum kopi pahit sedari kecil. Jadi bila mereka sedang dalam keadaan seperti ini tidak akan kaget. Subhanallah, aku benar-benar terharu waktu itu. Ya, pemahaman tentang bertahan hidup dalam kondisi sesulit apapun telah dianjarkannya semenjak kami kecil. Karena tak dapat kita pungkiri, roda nasib kadang tak searah dengan harapan yang kita inginkan.

Pelajaran berharga itu terbawa sampai saya berumah tangga sendiri. Gula ibaratnya adalah sebuah simbol, pada kenyataannya itu bisa diartikan segala macam. Dan disadari atau tidak, kita pasti pernah mengalami saat-saat kekurangan. Disanalah teori dari Bob menguatkan saya untuk bertahan. Karena pada dasarnya, hidup adalah tentang bagaimana kita bertahan dan menikmatinya. Setiap kali saya meneguk ataupun membuatkan kopi suami, ingatan saya pasti akan selalu terbawa pada pelajaran berharga ini. Begitu pula ketika kerinduan pada Bob mulai menyiksa, aroma kopi inilah penawarnya. Aroma kopi ini jugalah yang mampu menguatkan saat saya mulai gelisah, takut dan merasa sendirian.

Ibu, Tempe Goreng dan Pelajaran Keadilan

Ibu saya adalah seorang yang cerewet. Tapi tak dapat dipungkiri kadangkala ada saat-saat khusus dimana saya begitu merindukannya. Satu hal yang paling saya ingat adalah dulu semasa saya kecil beliau suka sekali menggoreng tempe diiris tipis-tipis. Tanpa terigu, hanya dibumbui dengan rendaman air garam dan bawang putih. Hidangan itu terasa begitu spesial bagi santapan kami sekeluarga. Tempe goreng yang renyah dan gurih dan hampir seperti kerupuk itu selalu menghiasi meja makan kami. Aroma bawang dan kedelai langsung khas ketika digoreng. Dari kejauhan pun saya sudah bisa memastikan bahwa itu adalah aroma tempe yang digoreng Ibu. Ah, menuliskan ini membuat kenangan masa kecil saya meloncat-loncat.

Semasa kecil, saya suka sekali bertanya tentang apapun. Tempe goreng tipis yang menjadi menu andalan keluarga kami pun tak luput saya tanyakan. Kenapa kok ngirisnya harus tipis-tipis Bu? Kemudian Ibu menjawab, Supaya kamu bisa menikmatinya dengan adil Nak. Ketika di rumahmu ada banyak orang dan kau hanya punya uang untuk membeli sepotong tempe, kau hanya perlu mengirisnya tipis-tipis dan merendamnya dalam air garam dan bawang. Semuanya pasti akan merasakannya sama rata. Kau harus pandai-pandai membaginya. Semuanya harus adil dan merasakan tempe hasil gorenganmu.

Secara tidak langsung Ibu telah mengajarkan saya sebuah ilmu yang sangat menakjubkan. Tentang bagaimana saya harus berbagi dengan adil dan sama rata. Dan yang paling menakjubkan, beliau mencontohkannya dengan hal-hal yang sangat sederhana. Saya pun sampai saat ini menerapkannya dalam kehidupan keluarga kecil kami. Bahkan, menu favorit suami adalah tempe goreng yang diiris tipis-tipis,hehehe. Aroma kenangan dan pelajaran tentang keadilan dari Ibu itu akan menyeruak dengan paksa ketika saya menggoreng tempe di dapur. Semuanya berloncatan tanpa bisa saya tahan. Dan, saya begitu menikmatinya. Ketika rindu pada Ibu, saya akan menutaskannya dengan menghirup dalam-dalam aroma tempe goreng.

Setiap orang pasti mempunyai kenangan yang istimewa dalam kehidupannya. Dan setiap orang juga punya cara sendiri untuk memanggil kenangannya. Hal sederhana, namun bila dipahami dengan bijak, akan mampu menghadirkan sebuah pembelajaran yang luar biasa dalam kehidupan ini. Biarkan kerinduan akan kenangan itu pulang pada tempatnya. Biarkan aroma-aroma itu mengantarkan dan menuntaskan rindu-rindu yang menggelora.

“Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Cerita di Balik Aroma yang diadakan oleh Kakaakin”

Monolog : Kepada Yang Bernama Kenangan…

45 Komentar

Jalan jalan itu pernah kulewati. Yang dahulu hanya setapak penuh kerikil nan ceria, kini sudah berganti dengan paving yang lebih tertata namun terkesan angkuh dan rakus. Sangat angkuh seakan mereka hendak menelan badanku hidup hidup. Banyak perubahan yang mebuatku sedikit terhenyak, dan lebih banyak lagi tersenyum. Mungkin itu hanyalah sebentuk cara untuk mengekspresikan apa yang aku lihat.

 Ah, rasanya aku harus menelan bercangkir cangkir kopi untuk menyelesaikan catatan yang sudah aku mulai ini. Entah apa yang sedang aku pikirkan, rasanya terlalu berat untuk ku urai lagi satu persatu bagiannya. 

Seperti halnya melihat film. Semua penonton pasti mengharapkan akhir yang indah (baca : happy ending). Entah karena menganut paham itu atau tidak, yang jelas mereka begitu kecewa jika film itu berakhir sedih. Dan aku tak tau, catatan ini ibaratnya sebuah film atau bukan di mata mereka.

Semuanya terjadi begitu tiba tiba, seolah tak memberiku kesempatan untuk berteriak. Rasanya aku sudah berteriak, namun sepertinya suaraku tak pernah sampai tepat sasaran. Terkadang penerimaan bukanlah menjadi solusi yang tepat atas sebuah keputusan. Butuh beribu alasan yang benar benar masuk akal untuk menjadikannya sebuah kata : ikhlas. Lainnya

Perang dan Kenangan…

56 Komentar

Tak terasa kita sudah ada di  bulan Desember. Bulan depan sudah tahun 2011. Pergantian yang begitu cepat dan sia-sia, jika kita hanya sekedar menanti dan tak melakukan apa-apa. Dalam setiap hitungan waktu selalu ada kenangan yang tercipta, manis ataupun pahit kita semua pernah melewatinya. Di penghujung  tahun ini, adalah saatnya kita memilah kenangan yang nantinya akan kita jadikan harapan di masa depan. Semua kenangan pasti akan selalu kita simpan, namun tidak semuanya kita jadikan harapan.

Waktu terus berganti dan kita berubah di dalamnya

Matahari, bulan dan bintang tak kan pernah saling berpelukan Lainnya