Beranda

Monolog : Kepada Yang Bernama Kenangan…

45 Komentar

Jalan jalan itu pernah kulewati. Yang dahulu hanya setapak penuh kerikil nan ceria, kini sudah berganti dengan paving yang lebih tertata namun terkesan angkuh dan rakus. Sangat angkuh seakan mereka hendak menelan badanku hidup hidup. Banyak perubahan yang mebuatku sedikit terhenyak, dan lebih banyak lagi tersenyum. Mungkin itu hanyalah sebentuk cara untuk mengekspresikan apa yang aku lihat.

 Ah, rasanya aku harus menelan bercangkir cangkir kopi untuk menyelesaikan catatan yang sudah aku mulai ini. Entah apa yang sedang aku pikirkan, rasanya terlalu berat untuk ku urai lagi satu persatu bagiannya. 

Seperti halnya melihat film. Semua penonton pasti mengharapkan akhir yang indah (baca : happy ending). Entah karena menganut paham itu atau tidak, yang jelas mereka begitu kecewa jika film itu berakhir sedih. Dan aku tak tau, catatan ini ibaratnya sebuah film atau bukan di mata mereka.

Semuanya terjadi begitu tiba tiba, seolah tak memberiku kesempatan untuk berteriak. Rasanya aku sudah berteriak, namun sepertinya suaraku tak pernah sampai tepat sasaran. Terkadang penerimaan bukanlah menjadi solusi yang tepat atas sebuah keputusan. Butuh beribu alasan yang benar benar masuk akal untuk menjadikannya sebuah kata : ikhlas. Lainnya

Selamat Menikmati…

26 Komentar

Hidup itu harus dinikmati, apapun bentuk dan cita rasanya. Selamat menikmati… 🙂

Ini Kisahku, Apa Kisahmu?

28 Komentar

Ini adalah kisahku. Tentang hidup, cinta, dan keajaiban harapan. Aku beruntung karena dikaruniai kisah-kisah hidup yang menurutku indah. Berbahagialah orang-orang yang memiliki kisah, karena itu adalah sumber inspirasi terluas dalam hidup. Beruntunglah bagi orang-orang yang memiliki kisah, karena dari itulah akan tercipta karya-karya besar. Aku mengutipnya dari dialog film Taiwan favoritku.

Ah, rasanya begitu bahagia membaca kutipan tersebut. Semua orang yang membacanya pasti akan menyadari bahwa kisah hidupnya begitu hebat dan layak dijadikan suatu karya dan dinikmati banyak orang. Bukan berarti kita mengeksploitasi ( baca membuka aib ) kisah hidup kita pada banyak orang. Banyak sisi positif yang dapat kita ambil, tak semuanya buruk dan menyebalkan. Siapa tau, kisah kita bermanfaat dan menginspirasi banyak orang.

Ini hanyalah sebuah prolog, untuk memudahkan kita masuk lebih dalam. Menyelami setiap kata dan hurufnya, menelaah setiap makna dan rimanya. Bukan dengan teori, tapi dengan hati yang paling tulus. Berikan kesempatan pada kata untuk membelai kisah-kisah yang berserak…

Aku tak tahu darimana kisah ini berawal, tapi aku begitu menikmatinya. Sedari kecil, aku suka sekali menulis. Entah itu coretan-coretan kecil di sampul buku pelajaran, ataupun di sobekan-sobekan kertas. Menulis tentang kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, dan tentang apapun itu. Menangis dalam tulisan pun sering. Karena seringnya mendapati bukuku penuh coretan-coretan yang tak ada hubungannya dengan pelajaran sama sekali, Bob memberiku sebuah buku. Bukunya bersampul hitam, kertasnya berwarna kuning dengan pembatas kain yang berwarna kuning juga.

Sekilas, tak ada yang menarik dari buku itu. Bob bilang, kalau ingin menulis sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran harus di buku itu. Ah, ternyata buku itu hanya untuk menulis buku-buku yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Bisa juga untuk corat-coret yang nggak penting. Dua tahun kemudian, aku baru tahu bahwa itu yang bernama buku harian. Dan setelah dua tahun itu, aku baru menyadari betapa istimewa dan berharganya buku itu. Tak peduli apapun warna dan bentuknya, aku menganggap buku itu sangat ajaib. Ya, setelah aku memiliki 3 buah buku seperti itu. Semuanya dari Bob. Dengan warna, dan bentuk kertas yang bermacam-macam tentunya. Setelah itu, setiap Bob memberikannya aku seperti mendapatkan sebuah kotak harta karun, yang siap kuisi dengan barang-barang berharga. Bedanya, barang berharga yang akan kuisi adalah kisah-kisah ajaib dan menakjubkan. Aku sangat bahagia… Lainnya

Kisah Tentang Icha…

33 Komentar

Terkadang, hal yang kita anggap sepele seringkali pada kenyataannya membutuhkan proses yang tak sepele dan tak biasa. Bahkan mungkin, hal yang kita pikir siapa saja bisa melakukannya dengan mudah, pada prosesnya memerlukan perjuangan yang hebat untuk mencapainya. Ah, sedikit rumit mungkin kata-kata yang saya utarakan di atas – tapi memang seperti itulah kenyataannya.

Ada sesuatu yang menginspirasi saya untuk menuliskan ini. Berawal dari obrolan iseng dengan seorang kawan saya sewaktu ngopi di kantin (kira-kira 2 tahun yg lalu). Awal yang simple mungkin, untuk menggamblangkan suatu alur yang tak biasa dan bisa dibilang, wow, luar biasa.

Kawan saya ini bernama Riza Hakim, biasanya teman-teman memanggilnya Icha. Icha dan saya dihadapkan pada kondisi yang lelah dan sama-sama butuh sesuatu untuk menenangkan dan merilekskan beban pikiran yang mengganjal setelah latihan teater. Si Icha memilih membeli sepiring nasi untuk membayar tuntas ganjalan pikirannya. Saya sendiri memilih ngopi dan mengambil gorengan.

Sambil makan, Icha menceritakan tentang pengalamannya waktu dia kuliah di Bali selama 1 tahun di D4 pariwisata. Icha ingin menjadi seorang koki restoran. Koki bertugas sebagai juru masak dan juga sebagai kepala dapur. Menurut pandangan anda, seperti apakah gambaran tugas seorang juru masak? Yang jelas pikiran kita pasti melayang bahwasanya tugas koki adalah memasak makanan kemudian menyajikannya kepada pembeli. Semua orang awam pasti memiliki pemikiran seperti yang saya tuliskan di atas.

Yang membuat saya terheran-heran, mendengar dari cerita Icha, dia sudah berkeinginan masuk ke D4 Pariwisata sejak kelas 1 SMA. Nah loh, yang membuat saya semakin mlongo, apa yang membuatnya sebegitu menggebu-gebu ingin masuk kesana? Ternyata, dia terinspirasi oleh kakaknya sendiri yang juga sekolah disana. Ah, ternyata begitu penting arti sebuah inspirasi dalam kehidupan kita hingga mampu membuat semangat kita terlonjak dan menimbulkan keinginan yang mengebu-gebu dalam diri kita. Yah, tergantung diri kita, bisa memanagenya dengan benar ataukah malah akan menjadi boomerang bagi diri kita untuk mewujudkannya?

Kembali lagi ke cerita teman saya Icha. Icha yang masih polos setelah lulus SMA langsung mendaftarkan diri ke sekolah tersebut. Ternyata, hari-hari yang dilaluinya tak sesederhana yang ia bayangkan sebelumnya. Berawal dari pemikirannya yang sangat sederhana dari tugas seorang “juru masak restoran” yang ia anggap hanya seperti itu saja, ternyata pada kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan tugas Anggota legislatif yang kerjanya Cuma nongkrong di gedung DPRD [he..he…sebenarnya nggak ada hubungannya sih antara menjadi juru masak dengan menjadi anggota DPR]. Dalam bidang ilmu yang didalami Icha, menurut saya untuk jenjang seperti D4 pariwisata biasanya adalah menyiapkan mahasiswa untuk siap terjun ke lapangan pekerjaan, sekolah skill, begitu saya membahasakannya. Lainnya

Older Entries