Terhitung sejak terjadinya gerhana matahari total, sepuluh hari yang lalu.
Ketika itu kau tampak sangat lelah. Sudah barang tentu. Kita baru saja melakukan perjalanan Tuban-Gresik di siang yang terik, terdampak macet yang menyiksa di jalur Widang-Babat. Kita hanya sebentar di Gresik, kemudian berlabuh sejenak di Surabaya. Perjalanan berikutnya adalah dengan kereta api Mutiara Timur, Gubeng-Kalisat.
Kereta yang kita tumpangi tiba di stasiun Kalisat pada dini hari, detik-detik menjelang gerhana matahari total. Dari stasiun ke rumah kontrakan, kita jalan kaki dengan gembira. Kadang, tawamu dan tawaku memecah kesunyian. Di saat yang lain, tawamu mengagetkan sekumpulan lelaki yang sedang mojok di keremangan. Mulanya aku bergidik. Resah. Kau tetap dengan sisa tawamu. Salah satu dari lelaki yang berkumpul itu, ia menyapamu ramah. Syukurlah.
Sesampainya di rumah.
Sementara aku memejamkan mata, kamu menolak untuk tidur. Seolah-olah kau ingin bilang, “Aku sedang ingin berdua-duaan dengan Sroedji.”
Ketika aku terbangun, kau memanjakanku dengan foto-foto gerhana. “Lihat, aku mengumpulkan foto gerhana untukmu. Ini sejarah semesta, sedangkan kulihat kau tertidur lelap. Maka, kusimpan beberapa foto untukmu.” Tapi kau sendiri tak tidur. Matamu kuyu. Layar monitor di depanmu menunjukkan jika kau sedang menulis sesuatu, perkara Agresi Militer. Wajahmu berminyak, tapi tetap saja mencoba tampil ceria, dan tetap menunjukkan foto-foto gerhana.
Tak tahukah dirimu, aku hanya ingin kau terlelap.
Hari-hari berikutnya, kau ada di antara buku-buku, serta lembar-lembar kertas yang sebagiannya adalah hasil dari tulisan tanganmu sendiri. “Catatan ini cukup membantu ketika aku diserang lupa,” katamu. Iya. Kita adalah pasangan yang pelupa. Tapi bukan itu. Aku mengerti, pengetahuanmu dalam kepangkatan militer sungguh tak hebat. Lelaki, aku tak mengenalmu selama sehari dua hari saja. Kita lebih dari itu.
Jember, 10 Maret 2016
Kita memang sempat ke Puncak Garahan, menikmati nasi pecel bersama-sama. Seorang sahabat dari Kalisat sedang merayakan hari lahirnya. Tapi itu ketika hari telah malam. Dari pagi hingga menjelang Isya’ hari-harimu hanya bersama setumpuk buku, coteran-coteran, serta wajah yang berminyak. Aku ingin menolak setiap kali wajahmu memohon untuk kubuatkan wedang kopi. Tapi aku tak bisa. Aku tahu, engkau butuh itu.
Esok harinya, pagi-pagi sekali, aku berangkat sendiri ke Prosalina. Matamu kuyu. Kubilang padamu, sebentar lagi tidurlah, sementara aku berangkat. Hari masih terlalu pagi ketika aku –bersama Rere jurnalis RJ– diserang jambret di perempatan kota yang ramai, tapi aku baru menceritakan itu padamu menjelang Maghrib. Sungguh aku takut, jika ketakutan itu kuceritakan padamu, hanya akan mengganggu kemesraanmu bersama buku-buku dan catatanmu.
Setelah kejadian itu, kau memaksa untuk mengantarkan aku, pagi-pagi sekali. Matamu kuyu, wajahmu berminyak. Aku bilang padamu, “Nanti saja ketika aku sudah selesai, jemput aku.” Sebab aku ingin kau punya waktu untuk terlelap.
Ketika menjemputku, matamu merah. Sepertinya kau sedang marah pada sesuatu. Ketika kutanyakan itu, kau berubah memasang senyum manis. Tak ada lagi warna merah yang marah. Belakangan aku tahu, hari ini kau menerima banyak kabar, dan kau belum lagi tidur. Kabar pertama datang dari kedua adik kita dari SWAPENKA –sebuah organisasi pencinta alam di sastra– yang mengabarkan tentang ‘miss communication’ antara mereka dengan salah satu dosen jurusan Ilmu Sejarah. Mereka datang ke Kalisat dan berkisah, kau tak sempat terlelap. Kabar berikutnya adalah kabar yang banyak sekali, aku malas untuk menuliskannya.
Aku masih mengingatnya, hari dimana kau tampak ceria sekali. Aku tanya, “Ada apa?” Mulanya kau hanya tersenyum, lalu bilang, “Bu Ratna sedang melengkapi data-data untuk naskah akademik. Jadi, mari kita jalan-jalan sejenak.” Oh, tentang itu lagi rupanya.
Esok harinya, kau tampak lebih santai dari biasanya. Aku sungguh bahagia demi melihat wajahmu tak lagi berminyak di depan layar monitor, dan matamu tak lagi kuyu. Tapi itu hanya berlangsung hingga sore hari. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kau sudah kembali dengan setumpuk catatan itu. Kau bahkan melewatkan malam renungan yang hanya berlangsung setahun sekali, tepatnya di tanggal 14 Maret menuju 15 Maret. Iya benar, itu hari lahir SWAPENKA, tempat dimana dulu kita berjumpa dan berproses bersama.
Malam itu kau bilang, sudah tidak cawe-cawe lagi dengan naskah akademik. Kupikir, setelah lima hari empat malam yang melelahkan, semuanya telah berakhir. Aku turut bahagia. Dengarlah lelaki, aku punya setumpuk kisah yang ingin kututurkan padamu, di setiap kali kita akan terlelap, di beberapa saat sebelum kita melantunkan doa, “Bismikallah huma ahya wa bismika ammut.”
Pada kenyataannya, di hari-hari selanjutnya kau masih saja berada di antara tumpukan kertas yang sekali tempo bercecer tak beraturan. Tak tega rasanya melantunkan kisah padamu, lelaki sahabat sebantal. Bahkan untuk menceritakan kerinduanku pada Almarhum Lik Ming pun aku tak tega.
Kau memang terlihat lebih santai dan pelan, dibanding lima hari pertama. Matamu tak sangat kuyu, wajahmu tak begitu berminyak. Kau bahkan menyempatkan diri untuk manjer beberapa halaman jejaring sosial. Tapi kini, ketika aku bertanya tentang sosok pejuang Sroedji, jawabanmu terlalu berbelit-belit, seperti sedang menuturkan tentang Teknik Penulisan Sejarah beserta metode-metode ikutannya.
Tak tahukah dirimu bahwa itu sangat menyebalkan?
Lelaki, dimana hilangnya kepolosan kisahmu? Dulu, ketika kau tidak tahu, kau akan bilang tidak tahu. Lalu, pelan tapi pasti, kau akan mencarikan jawabannya untukku. Tidak ngoyo tapi ajeg. Kini, ketika iseng kutanyakan hal yang senada, di saat tak mengerti jawabannya, kau akan mencarinya di buku-buku dan di slempitan catatan-catatanmu, saat itu juga. Lalu jawaban yang keluar dari bibirmu adalah sama saja seperti sederet catatan yang ada di dalam buku. Itu tentu baik, secara ilmu pengetahuan. Tapi aku mengerti, itu bukan untukku lagi.
Ceritakan Padaku Tentang Dia
Dulu sekali, aku pernah bertanya padamu tentang dia. Tentang seseorang yang gugur di medan perang. Tentang seseorang yang namanya dijadikan nama jalan di kotamu, dan di beberapa kota lain. Tentang seseorang yang sosoknya disimbolkan sebagai patung nan gagah di pelataran PEMKAB Jember. Lalu kau bercerita dengan mesra.
Aku suka ketika kau berkisah tentang sebuah sekolah dasar di Jember yang beralamatkan Jalan Letkol Moch. Sroedji No. 250 Patrang. Kemudian kau bercerita hal-hal yang ringan namun bukan fiksi. Kau bahkan menuliskan itu di kompasiana, dengan gaya bahasa yang apa adanya, dengan tokoh bernama ‘aku kamu.’ Sungguh, aku merindukannya. Namun semakin hari, tulisan itu semakin berubah, tak lagi sama seperti sedia kala. Ada banyak edit di sana sini. Lalu kau menambahkan sebuah kalimat yang seperti terdengar mesra namun aku tak mengharapkannya.
“Istriku, aku berjanji padamu. Tulisan ini akan selalu mengalami perbaikan, setiap kali aku mendapati data baru. Sekarang buatkan aku secangkir kopi ya cantik.”
Lelaki, aku istrimu. Tak perlulah kau berbelit-belit data dan wacana jika hanya ingin menuturkan sesuatu padaku. Tengoklah catatan yang kau buat di kompasiana, kini tak lagi terpelihara.
Aku hanya rindu kau bertutur seperti dulu. Perkara kebaikan memang patut dibalas dengan kebaikan, tapi jangan gugur di medan makna. Aku yakin mereka pasti akan memahami, sebab mereka baik.
Hai lelaki korek api dan api unggun, semisal kau lupa dengan hasil tulisanmu sendiri, cobalah kau baca lagi coretanmu ketika berkisah untuk Afrin. Aku suka. Ia juga sebagai penutup catatan ini.
Istrimu, Zuhana AZ
NAMANYA AFRIN. Selain cantik, ia adalah gadis yang ceria. Dialah yang mengundang saya dan Hana di acara radio ‘Cek Jembere’ Kiss FM. Di acara itu Afrin bertanya, mengapa saya senang menulis catatan pendek tentang Sroedji? Saya bilang, atas nama masa kecil. Lalu saya bercerita padanya tentang keberadaan patung di pusat kota, serta pertanyaan-pertanyaan masa kecil yang menyertainya.
“Ketika masih bocah, saya punya banyak pertanyaan tentang patung Letkol Moch. Sroedji. Siapa pembuatnya? Kemana perginya patung itu saat kebelet pipis?”
Afrin tertawa mendengar imajinasi saya di kala bocah. Pertanyaan lain dari Afrin yang masih saya ingat.
“Dari mana Mas Hakim mengenal keluarga Sroedji?”
“Lewat tulisan. Rupanya tiga tahun lalu mereka membaca catatan pendek yang saya unggah di dunia maya.”
Saya lupa, apalagi ya yang ditanyakan Afrin? Waktu itu –15 Februari 2015– kami berbincang sambil sesekali bercanda. Ohya, Afrin ingin tahu pendapat saya tentang usulan dijadikannya Moch. Sroedji sebagai pahlawan nasional.
Niat saya menulis bukan untuk itu. Tapi tentu saya senang jika Moch. Sroedji diusulkan menjadi pahlawan nasional. Semangat perjuangannya akan tetap hidup jika kita bersedia untuk mengingatnya. Saya kira, secara filosofis, ini adalah penghargaan terhadap seluruh pasukan Brigade III Damarwulan.
Semisal usulan itu nantinya berhasil, adalah tugas kita semua untuk mengusulkan tokoh-tokoh yang lain, baik pejuang yang dari sisi kepangkatan apalagi sipil. Sebab perjuangan bukan hanya tentang mengokang senjata.
Buat Afrin, terima kasih.
Mar 19, 2016 @ 22:37:49
Ciyeeeeee inikah yang dinamakan merajuk???? Hehehe
Mar 20, 2016 @ 10:51:06
pasangan favorit ๐
Mar 21, 2016 @ 12:30:32
Hana, apa kabar?
dah lama ya kita gak bersilaturahmi..hehe
Mar 23, 2016 @ 12:35:14
Ceritanya lagi komplen misua ya? Ntar Mas Hakim jawab lewat blog juga nggak ya..haha..
*jadi pengen komplen misua lewat blog juga* ๐