Menatap Hyang di Bawah Langit

Menatap Hyang di Bawah Langit Seusai Hujan

Satu bulan ini, saya mendadak mengalami sindrom romantisme yang berlebihan. Terlalu melankolis dan sentimentil. Kadang rindu dan kenangan bercampur memberikan efek yang berlebihan. Bahagia dan sedih yang berlebihan kadangkala menerbitkan haru. Ditambah dengan hujan yang kerap turun seringkali membuat perasaan semakin meringis. Sakit? Luka? Suka? Entahlah, saya tak bisa mendeskripsikannya dengan pasti. Yang jelas, teramat sentimentil. Mungkin ini hal yang wajar, tapi bila terus menerus seperti ini saya merasa terganggu.

Hujan menjadikan perasaan teramat syahdu dan sendu. Apalagi jika teringat kenangan di dalamnya. Seorang Ony Minory–teman saya di twitter–pernah melemparkan sebuah pertanyaan. Pertanyaan sepele yang tak bisa dijawab dengan sepele. Sulit dan butuh waktu yang lama untuk menemukan jawabannya.

“Ada apa dengan hujan? Kenapa banyak orang memaki hujan? Yang kalian takutkan, genangannya ataukah kenangannya?”.

Bagi saya jawabannya adalah genangan kenangannya. Karena bisa membuat hati ini sesak dan gak muat. Banjir kenangan. Haru menyeruak dan kadang tak bisa dibendung dengan apapun.

……

“Lalu, apa yang kau ingat ketika hujan?”, tanya Tuhan.

Banyak.

Siang hari, hujan deras, petir menyambar, rumah bocor. Prit kecil sedang meringkuk kedinginan di atas ranjang yang kelambunya sudah sobek disana-sini. Rumah kami yang hanya berdinding triplek mulai bergoyang-goyang tertiup angin. Bak dan panci yang dibuat untuk tadahan hujan sudah semakin penuh. Bob mengambil dan membuangnya di halaman belakang kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Ibu masih memeluk saya yang kedinginan. Bob mengambil meja, kemudian naik ke atap rumah kami. Tak berapa lama dia berteriak karena kesetrum. Aku tak ingat, bagaimana Bob bisa turun. Yang jelas, aku ada di samping Ibu yang sedang menangis sambil mengaduk kopi pahit untuk Bob.

Malam itu hujan turun dengan dahsyatnya dan kami (Bob, Ibu dan saya) sedang bernaung dari tampias hujan di depan ruko toko yang tutup. Ya, kami sedang ada di perjalanan menuju Bojonegoro. Mereka akan membawaku berjalan-jalan menikmati malam sambil menonton akrobat dan tong edan (sepeda motor mirip rally yang berputar di dalam tong yang besar dan dikelilingi penonton). Malam itu kami bahagia dan pulang menjelang subuh. Esok paginya, Bob ke sekolah meminta ijin karena saya tidak bisa mengikuti pelajaran dikarenakan ingin istirahat di rumah. Sakit? Bukan. Waktu itu saya masih kelas 1 SD. Setelah perjalanan malam yang membahagiakan itu, esok paginya saya berbisik pada Bob.

“Bob, saya pengen istirahat dulu ya. Capek sekolah terus. Nanti kalau sudah pengen sekolah lagi baru masuk”

“Tentu saja, istirahatlah. Jangan kau cemaskan Ibumu. Dia tentu mengerti kebosananmu ketika harus duduk di bangku terus menerus selama beberapa jam”, ujar Bob sambil mengelus kepala putri kesayangannya.

Kelak di tahun-tahun berikutnya, bahkan sampai besar saya selalu melakukannya. Bob tidak pernah marah bila saya mengatakan ingin istirahat dulu. Beliau sangat tahu, bahwa saya gampang bosan bila harus duduk berjam-jam di bangku sekolah. Itu tandanya saya butuh sesuatu yang baru, suasana yang baru.

Kelas 3 SD, saya mendapatkan buku harian pertama ketika selesai hujan-hujanan bersama Bob sambil membersihkan selokan di samping rumah. Kehujanan dan dingin, tapi entah kenapa ada hangat yang aneh waktu itu. Saya menuliskannya di halaman pertama buku harian perdana itu.

Kelas 6 SD, tahun 1998, lapar, kelam, hujan dan marah. Seorang gadis kecil dengan garis hitam di bawah matanya, menangis terisak di sudut kamar. Berharap tak ada yang tahu dan mendengar, gadis itu menggigit bantal dan menahan sesak napas yang teramat menyakitkan.

Setiap tahunnya hujan selalu turun, dan saya selalu mendapatkan kenangan. Ada yang terekam jelas dalam ingatan dan ada yang memang sengaja saya kaburkan dari ingatan. Pahit.

……

Hujan turun deras di siang yang syahdu. Seorang perempuan dewasa terisak di sudut kamar. Seorang laki-laki menghampiri dan kemudian memeluknya erat sambil meredakan tangisnya yang seperti hujan. Deras dan tak mau berhenti. Mereka suami istri. Ya, gadis kecil yang dulu menangis ketika hujan itu sudah dewasa dan menikah. Dia menangis karena dihujani pertanyaan yang tak pernah berhenti. Dia menangis karena dianggap tak berusaha. Perempuan itu menumpahkannya di tengah hujan. Kemudia sang suami meredakannya dengan pelukan.

……

Ada banyak hujan dan kenangan yang saya lewati. Dengan manis dan tak sedikit pula yang pahit. Saat menuliskan ini, saya dilanda sentimentil yang luar biasa dahsyatnya. Hujan turun, dan kopi sudah semakin dingin. Genangan kenangan tak berhenti mengalir. Tumpah ruah, hingga akhirnya banjir. Tapi, percayalah, ada sesuatu yang indah setelah hujan.

……

Salam Lestari,
@apikecil