Smart. Satu kata ini bagi saya semakin bias. Hampir setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang definisi kata satu ini. Bila seribu orang dikumpulkan di lapangan kemudian disuruh menuliskan tentang definisi kata smart ini, pasti akan menghasilkan banyak definisi. Ya, tentu saja karena setiap orang berhak mengartikan sesuai dengan keadaannya. Smart, diartikan sebagian besar orang sebagai cerdas, pintar dan beberapa istilah serupa lainnya. Apakah smart harus selalu berkiblat pada kecerdasan dan kepintaran saja?

Kecerdasan dan kepintaran memang secara umum mengaburkan arti dari kata smart itu sendiri. Sehingga kebanyakan orang mulai berpikiran kalau nggak pinter dan cerdas berarti nggak smart dong. Mungkin ini bisa kita apresiasi bersama, mengingat banyak pemikiran-pemikiran yang jelas akan sangat berbeda dan cenderung menjauhi arti kata smart yang sebenarnya.

Bagi saya pribadi smart tak hanya melulu pada kecerdasan dan kepintaran saja. Ada hal yang sangat penting dari semua itu. Dan sebenarnya memang seharusnya selalu menjadi bagian yang tak bisa lepas. Jika terlepas, maka kecerdasan dan kepintaran itu hanyalah teori belaka. Apa itu? Peka. Peka terhadap apa yang ada di sekitar kita. Setelah peka, otomatis kita akan peduli. Peka adalah merasakan secara mendalam. Ya, peka itu sangat penting untuk mendampingi sebuah kepintaran dan kecerdasan. Ibu pernah bilang pada saya, Nduk percuma kamu itu pinter dan cerdas, tapi kalau kamu nggak peka. Pinter dan cerdas itu peka. Peka terhadap lingkungan di sekitar kita, peka terhadap orang-orang di sekitar kita dan peka terhadap suasana yang sedang terjadi. Bob (bapak saya) dan suami saya bilang kalau peka itu adalah pintar membaca cituasi dan suasana. Jadi, peka seakan seperti sebuah kesatuan khusus untuk mengikat kata smart agar secara harfiah benar-benar kuat.

Smart yang kedua bagi saya adalah survive. Ya, pintar dan cerdas hanya akan jadi isapan jempol saja bila kita tak mampu survive dalam keadaan apapun. Survive adalah bertahan hidup. Bertahan hidup dalam kondisi apapun itu. Dalam agama yang saya yakini, saya diwajibkan untuk terus berusaha dan bertahan hidup dalam kondisi apapun itu. Survive bukan hanya melulu pada soal makanan saja. Bertahan hidup menghadapi segala permasalahan yang ada, menghadapi musim yang kian tak menentu arahnya, menghadapi situasi bangsa yang semakin hari semakin tak kita mengerti, dan masih banyak lagi survive-survive dalam hal lainnya. Mampu beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman-teman baru juga termasuk survive bagi saya. Smart tanpa survive ibarat harimau tanpa gigi. Gimana ya rasanya? Bagi saya itu adalah hal yang aneh. Setinggi apapun ilmu yang kita tempuh dan berapapun banyak penghargaan ataupun ijasah yang kita kantongi tapi bila kita tak mampu survive, bagi saya itu adalah percuma. Smart tanpa bisa survive adalah hal yang menyedihkan. Ya, menyedihkan bagi kata itu sendiri.

Ikhlas adalah pilihan ketiga bagi saya untuk mengilhami kata smart. Ya, ikhlas adalah sebuah ketulusan untuk membuka semuanya. Ikhlas adalah sebentuk kejujuran dalam pengejawantahan. Membuka diri dan hati dengan tulus untuk menerima segala ilmu yang kita dapatkan. Membuka diri dan hati dengan ikhlas ini juga penting, karena segala yang kita serap dan dapatkan Insyaallah barokah untuk kehidupan ini. Kepintaran dan kecerdasan yang kita peroleh bila tak dibarengi dengan keihkhlasan akan berakibat menyombongkan diri kita. Kepintaran dan kecerdasan akan menguap bila semua itu kita sombongkan. Maka ikhlas dan ketulusan adalah jalan terbaik untuk membuat semuanya menjadi bijak dan bermanfaat untuk semua. Dalam hal ini, kita tak segan berbagi dan membagi apapun yang kita dapat. Baik secara materi maupun non materi. Bukankah semua adalah titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh-Nya?

Ketiga hal tersebut adalah definisi secara khusus yang ada dalam kata smart. Ya, bagi saya dalam kecerdasan dan kepintaran itu juga harus ada kepekaan, survive dan keihklasan. Smart itu adalah peka. Smart itu adalah survive. Smart itu harus ikhlas. Ya, ketiga hal tersebut bagi saya harus selalu seiring sejalan membingkai jalan kehidupan kita.

Saya pribadi sendiri masih selalu belajar dan berusaha untuk terus menerapkan ketiga hal tersebut dalam kehidupan keluarga kecil kami. Terlepas dari ketiga hal tersebut ada satu hal yang membuat saya merasa smart. Ya, hal itu adalah dukungan dari orang terdekat. Support dalam hal ini adalah sebentuk restu dari suami untuk terus mengaplikasikan ketiga hal tersebut dalam kehidupan kami. Tanpa adanya support dari orang tercinta, tentu saya tak akan merasa kuat. Karena sebenarnya setiap manusia itu diciptakan untuk smart. Semua manusia diciptakan dengan kecerdasan dan kepintaran yang berbeda-beda. Tuhan tentu punya alasan untuk semua ini kan? Hanya saja, tidak semuanya bisa mengelola dengan bijak dan baik potensi yang dimiliki. Tidak semuanya juga bisa mengejawantahkan kepintaran dan kecerdasan mereka di lingkungan di sekitarnya. Alam raya dan segala isinya diciptakan Tuhan untuk kita pelajari. Jadi, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Ya, bukankah kita juga harus belajar dari sekitar kita agar bisa menjadi sosok yang smart. Menjadi sosok smart yang selalu peka, bisa survive dalam kondisi apapun serta selalu ikhlas berbagi. Semoga kita semua bisa menjalaninya dengan kuat. Amin… πŸ™‚

“Blogpost ini diikutsertakan dalam Lomba Ultah Blog Emak Gaoel”

banner lomba