bulansebelas

ada api kecil di bawah gerimis
sebuah kado kecil untuk sepasang pengantin kecilku

aku saksikan sepasang pengantin kecilku berlari
di bawah gerimis, membiarkan rambut dan wajah
kanak-kanaknya basah,
dia seakan tak kepingin berteduh di emperan
rumah-rumah penduduk yang seperti kotak-kotak
jangkrik, berderet-deret, tak bertepi, layaknya barisan
buruh, mengepal-ngepalkan tinju, berteriak hingga serak
langit di atas kepala mereka membara, sementara para majikan
cuma mengintip dari lobang angin, sembari membetulkan kancing baju
di bawah batang lehernya, matanya memberi isyarat kepada sekretarisnya
segera mendekat,
buruh kelojotan, menggelepar di aspal jalanan, negara yang harusnya ada
hilang entah kemana, gubernur seperti tak punya dosa (memang tak punya dosa),
malah dengan setengah emosi berujar : jangan adu buruh dengan presiden!

aku lihat sejoli pengantin kecilku bergegas melintas gerimis, dia tak perlu
payung, berjuang mengembalikan rimbun dedaunan jangan sebatas pelipur
lara, begitu juga gugusan bebukit dan gumuk-gumuk, saatnya jadi rumah angin
dan istirahat hujan, biarkan mereka tidur barang sejenak, menina bobokan puting beliung
dan iga alang-alang, biarkan mereka beranak pinak, di sela perdu dan semak,
bermain di bawah gerimis sembari mengurut parit-parit petani yang gelisah,
gerombolan burung dan capung, kebingungan mencari daun, sebab hutan tinggal ranggasnya,
di bawah bekas jejak sepatu bot para mandor dan kuli tebang, hilang tak tersisa, para pesanggem
punggungnya terbungkuk-bungkuk, menghindari hujan yang harusnya
tak membuat mereka takut, mereka adalah orang-orang yang terpacul,
tercampak ke luar dari rombongan

aku saksikan sepasang pengantin kecilku diam di bawah hujan, tangannya bergandengan,
tak sendirian, sebab dunia tak mungkin dimasukkan ke dalam saku sebelah kiri blue jins-nya,
begitu juga dengan matahari yang bukan monopoli satu dua orang saja,
lelaki dan perempuan saling menatap,
tak saling berkata-kata, hanya saling bersentuhan, hanya saling memberikan tanda-tanda,
kepada dunia yang semena-mena, dan mesti sabar menerima apa yang ditimpakan kekasih,
walaupun ke lautan api beta ini tuan bawa, beta akan mengikutinya juga,
karena cinta dan benci adalah pintu paling agung, karena sebagian orang mengira
bahwa cinta dan benci cuma merupakan suasana hati yang tak bisa berkata-kata,

aku dengar sayup-sayup sepasang api kecilku bersajak
di geligir hujan, jangan kau tinggalkan aku dalam ketidaktahuanku,
jangan kau tinggalkan aku dalam ketidakpahamanku,
jangan tinggalkan aku dalam kebodohanku,
jangan kau biarkan aku tersesat di antara gumuk dan hutan,
jangan tinggalkan aku sendiri bersama kesepian,
biarkan negara jadi kurtir, asal kita bisa tidur bersama rakyat,
jadikan beban bukan derita, jadikan cobaan alat dan ilmu pengetahuan,
jika kamu haus bukankah hujan ada di dekatmu

titian alit, november 2013

***

Puisi ini adalah sebuah kado untuk usia pernikahan kami yang kedua. Dari seorang Ayah untuk sepasang anaknya. Ya, Bob menuliskan puisi ini di status facebook pada tanggal 18 Nopember 2013 sekitar pukul 00.30 WIB. Ah, jadi kangen dengan beliau. Terus terang ini surprise buat kita, terharu. Terima kasih atas doa dan cintanya ya Bob 🙂

bob

Bob : jika kamu haus bukankah hujan di dekatmu

Aku : Ada hujan, ada rindu, ada kopi, ada alunan gitar, ada kebahagiaan dan doa di sekitar kami… Terima kasih…

Bob : secangkir kopi pahit tinggal seperempat, setengahnya diseruput teman, sebatang rokok kretek tinggal satu-satunya disedot kawan pula, tapi lirik-lirik lagu dan sajak terus mengalun, betapa indahnya berbagi di tengah yang serba sedikit… TETAP BERPIKIR MERDEKA !!!!!

Aku : Kita nikmati saja yang ada. Dari jarak dan waktu yang terpisah, semoga rindu tetap mengalun melalui partikel-partikel udara. Melalui rinai hujan dan aroma kopi. Dan satu lagi, tetap berpikir merdeka…