Kulayangkan pandang ke arah jendela, tak ada siapapun disana. Hanya ada kelambu yang tertiup angin. Aku mimpi buruk lagi. Ah, entah sudah yang keberapa kalinya. Kuambil segelas air dari samping tempat tidurku, kemudian perlahan meneguknya. Segar mengaliri tenggorokan.

Jam dinding menunjukan pukul 00.30 WIB. Dini hari yang senyap dan dingin. Lagi-lagi waktu yang sama, dan selalu seperti ini. Apakah ini semua hanya kebetulan belaka? Mimpi buruk yang datang selama seminggu ini pastilah sebuah pertanda. Tapi apa maksudnya? Kenapa sosok dalam mimpiku adalah Rim? Ya, dia adalah tunanganku. Perempuan bermata salju itu akan kunikahi bulan depan. Mimpi-mimpi itu menerbitkan gelish yang tiada tara. Jika hanya sekali, mungkin aku bisa menyebutnya bunga tidur. Tapi ini sudah malam yang ke tujuh aku memimpikannya seperti itu. Ah, aku begitu mengkhawatirkan Rim. Sudah hampir 2 tahun aku hanya bertukar kabar lewat telpon ataupun chat  facebook. Aku begitu percaya padanya. Dan besok, rindu itu akan pecah dengan sendirinya begitu kami bertemu.

Tuhan, jaga Rim untukku. Aku begitu mencintainya…

– – –

Dan rindu itu pecahlah sudah…

Di hadapanku duduk gadis ayu itu. Dengan rambut yang terurai di bahunya, semakin membuat wajah Rim dewasa. Tanpa make up dan selalu tersenyum manis pada siapapun.  Tubuhnya terlihat gendut, mungkin karena memakai gamis yang kedodoran. Namun bagiku, itulah kesempurnaan. Ah, sederhana yang manis. Semanis kenangan saat pertama kali kita bertemu. Ya, saat itu tangan kita tanpa sengaja sedang memegang satu buku yang sama. Di rak perpustakaan kampus lorong kedua bagian fiksi. AKu sangat menikmatinya. Begitupun saat mengenang perjumpaan kita. Sederhana dan manis sekali.

“Net, kenapa melamun sih?” ucap Rim mengagetkanku.

“Tidak apa-apa. Aku hanya mengingat suatu kenangan yang sederhana namun masih terasa manisnya di hati” jawabku sambil memandang matanya.

Kulihat mata rim berkaca-kaca mendengarkan ucapanku. Rona merah menghiasi pipinya yang putih. Ah, bidadariku sedang tersipu malu.

“Net, aku bahagia bisa dekat dan mencintaimu. Kamu orang yang baik. Terima kasih ya! Aku pergi dulu ke apotek, beli obat. Jaga diri baik-baik ya!” ucap Rim sambil mengelus pipiku.

Dia pun berlalu di hadapanku. Dengan langkahnya yang anggun. Sesekali kulihat Rim menoleh ke belakang, memastikan bahwa aku masih melihatnya.

– – –

Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Rim terbujur kaku di depanku. Ya, selang beberapa menit setelah kepergiannya, ada kecelakaan di seberang restoran tempat kami bertemu. Tampak sosok yang begitu kukenal tergeletak di seberang jalan. Ya, Rim ditabrak oleh sebuah mobil. Tabrak lari tepatnya, karena si pengendara mobil ini melarikan diri. Ya, lari dari tanggung jawab. Meninggalkan Rim tergeletak begitu saja meregang nyawa, hingga akhirnya menghembuskan nafas sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.

Disinilah aku sekarang. Di depan jenasah perempuan yang kucintai. Dan mendapati kenyataan menyakitkan tentangnya.

“Apa yang terjadi dengan Rim nak? Apa yang terjadi?”, ujar Mbah Mis sambil terisak.

“Rim kecelakaan Mbah, ada yang menabraknya dari belakang. Rim meninggal sebelum sempat dibawa kemari. Dan bayinya juga tak tertolong. Jenazah mereka harus segera kita urus Mbah. Ini cobaan bagi kita Mbah,” jawabku sambil memeluk Mbah Mis.

“Inna lillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

“Aku sendiri juga baru tahu kalau Rim hamil Mbah. Menurut analisa Dokter sudah 7 bulan. Pihak rumah sakit sudah mengupayakan untuk menyelamatkan bayinya. Tapi Tuhan berkehendak lain. Kita ikhlaskan ya Mbah” jawabku dengan kalimat setegar mungkin.

Mbah Mis meraung-raung di samping jenazah Rim. Menangisi perempuan yang sebulan lagi akan menjadi istri cucunya. Memang selama aku di perantauan, hanya Rim lah yang setia menemani Mbah Mis.

– – –

Tuhan, ternyata inilah arti mimpi yang kau berikan selama ini. Ternyata pertemuan rindu itu adalah pertemuan terakhir kami. Entahlah, semua ini begitu rumit dan perih. Ya, itu adalah rindu terakhir kami. Tinggal sebulan lagi pernikahan kami, namun Tuhan memang punya rencana sendiri terhadap jalan hidup insan-Nya. Perihal tentang bayi yang dikandung Rim, biarlah hanya Tuhan yang menyimpan semua misterinya. Aku pun tak mau berprasangka buruk pada perempuan yang kucintai. Terkadang Tuhan memang punya cara sendiri untuk memisahkan mahluk-Nya yang memang tak berjodoh. Selamat jalan Rim…

– – – – –

monday