Tari Gandrung merupakan salah satu tarian dari Banyuwangi. Tarian yang disajikan dengan iringan khas percampuran budaya jawa dan Bali itu telah menjadi ikon tersendiri bagi kota yang terletak ujung Jawa Timur. Dalam bahasa Jawa, kata Gandrung memiliki arti senang yang sebegitunya terhadap suatu hal. Dalam hal ini Gandrung diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang notabene agraris kepada Dewi Sri sebagai perlambang kesejahteraan rakyat. Ketika menyebut Gandrung, maka otomatis pemikiran sebagian orang selalu merujuk ke Banyuwangi. Di sana banyak dijumpai beberapa patung Gandrung. Tarian ini biasa dipentaskan dalam petik laut, perkawinan, sunatan, tujuh belasan serta beberapa pesta rakyat di Banyuwangi.

Ketika saya kuliah dulu, ada beberapa mata kuliah tentang kesenian rakyat lokal. Salah satunya adalah tentang tari gandrung. Dalam perkembangan sejarahnya, kesenian Gandrung Banyuwangi muncul bersama dengan dibukanya hutan Tirtogondo untuk membangun ibu kota Blambangan. Pada awalnya penari Gandrung adalah laki laki dengan tabuhan musik rebana dan gendang. Namun seiring berjalannya waktu mengalami perubahan dan penyesuaian. Penari Gandrung pertama yang dikenal dalam sejarah bernama Semi. Menurut cerita, Semi adalah seorang anak perempuan yang sakit sakita. Akhirnya sang Ibunda bernadzar, apabila Semi sembuh dari sakitnya maka dia akan dijadikan seblang. Seblang merupakan sejenis tarian yang ditarikan oleh perawan. Dari sinilah awal mulanya tarian Gandrung ditarikan oleh seorang perempuan. Setelah Semi, tari ini akhirnya dipopulerkan oleh adik adiknya dan beberapa anak perempuan.

Setiap kesenian mpunya ciri khas,begitu juga dalam hal tata busana. Gandrung Banyuwangi yang mempunyai keunikan tersendiri karena beda dengan tarian Jawa lain. Hal ini Dikarenakan Adanya pengaruh kerajaan Bali dan Blambangan.

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.

Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya. (Tata Busana Penari Gandrung – http://kanal3.wordpress.com/2011/12/22/mengenal-sejarah-dan-makna-filosofis-tari-gandrung-banyuwangi/)

Kalau dari penampakannya seperti gambar di bawah ini :

Gambar Diambil Dari Google

Gambar Diambil Dari Google

Waktu kuliah, saya pernah menjadi tim tata rias di sebuah pertunjukan adik kelas. Disana dipentaskan beberapa tarian lokal, diantaranya tari Gandrung Banyuwangi. Saya tidak tahu alasannya kenapa, tapi tim penari gandrung tidak mau dirias oleh tim perias yang disediakan oleh fakultas. Mereka memilih mendatangkan sendiri perias khusus Tari Gandrung. Ternyata setelah saya bertanya kepada beberapa orang, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh sang penari. Salah satunya adalah tidak boleh dirias oleh orang lain. Hal tersebut berlaku untuk para penari profesional. jadi, sang penari harus bisa merias sendiri dan memakai kostumnya sendiri. Selain itu, semua persiapan juga harus dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal inilah yang membuat tari ini sangat mahal. Konon, sang penyewa harus membayar sangat besar untuk menampilkan tari ini. Karena memang perlengkapan dan persiapan yang dilakukan memerlukan biaya yang tak sedikit. Namun, hal tersebut tak mempengaruhi minat sebagian besar orang untuk tetap melestarikan tari ini sebagai identitas budaya.

Gandrung Banyuwangi merupakan kebudayaan yang harus dipertahankan sampai kapanpun. Sebagai eksistensi, kekayaan budaya, dan juga sebagai perekat bagi tiap generasi yang ada.

*****

Artikel ini diikutsertakan dalam Jambore On the Blog 2012 Edisi Khusus bertajuk Lestarikan Budaya Indonesia.

Nb : Sebagian besar data diambil dari Wikipedia.com