Jalan jalan itu pernah kulewati. Yang dahulu hanya setapak penuh kerikil nan ceria, kini sudah berganti dengan paving yang lebih tertata namun terkesan angkuh dan rakus. Sangat angkuh seakan mereka hendak menelan badanku hidup hidup. Banyak perubahan yang mebuatku sedikit terhenyak, dan lebih banyak lagi tersenyum. Mungkin itu hanyalah sebentuk cara untuk mengekspresikan apa yang aku lihat.

 Ah, rasanya aku harus menelan bercangkir cangkir kopi untuk menyelesaikan catatan yang sudah aku mulai ini. Entah apa yang sedang aku pikirkan, rasanya terlalu berat untuk ku urai lagi satu persatu bagiannya. 

Seperti halnya melihat film. Semua penonton pasti mengharapkan akhir yang indah (baca : happy ending). Entah karena menganut paham itu atau tidak, yang jelas mereka begitu kecewa jika film itu berakhir sedih. Dan aku tak tau, catatan ini ibaratnya sebuah film atau bukan di mata mereka.

Semuanya terjadi begitu tiba tiba, seolah tak memberiku kesempatan untuk berteriak. Rasanya aku sudah berteriak, namun sepertinya suaraku tak pernah sampai tepat sasaran. Terkadang penerimaan bukanlah menjadi solusi yang tepat atas sebuah keputusan. Butuh beribu alasan yang benar benar masuk akal untuk menjadikannya sebuah kata : ikhlas.

Ini sebuah situasi yang sulit untuk diterjemahkan. Pernah suatu ketika melayang tinggi dan berbunga-bunga, namun pada akhirnya benar benar jatuh dan terhempas sebegitunya. Apa ini sebuah proses yang harus ditempuh? Ataukah bagian dari mimpi mimpi yang tertunda? Aku hampir saja bertempur. Tapi semuanya hanya sebatas pada kata ‘hampir’, dan kenyataannya aku tak pernah mengalaminya. Pernahkah terbayangkan, ketika hampir mencapai puncak kita harus berbalik arah sambil melihatnya dengan sinis mengejek.

Tapi yang kubayangkan sa’at ini adalah : belum mencapai puncak bukan berarti kita harus kembali pulang dan menerima kekalahannya begitu saja. Ya, kita memang belum disiapkan oleh-Nya untuk menggapainya. Masih ada jalan lain untuk mencapai puncak itu, dengan persiapan dan managemen yang lebih matang. Aku berharap ini bukanlah sebentuk pembenaran untuk menghibur diri. Terlalu sinis jika menganggapnya sebuah pembenaran, namun terlalu naif jika tidak melihat ini sebagai upaya untuk menghibur diri. Silahkan melihatnya sendiri dengan sudut pandang masing masing…

Sebuah kenyataan yang begitu pahit. Karena terbiasa minum kopi manis, aku lupa bagaimana rasanya pahit. Sepertinya aku harus membiasakan diri untuk belajar merasakan pahit (lagi). Mungkin memulainya dari hal kecil terlebih dulu : minum kopi pahit (lagi).

Bangku, pohon, meja kayu, pintu dengan kaca tembus pandangnya, bau khas buku buku lama, berkas berkas usang, langkah kaki yang bergema, aroma rumput, daun daun yang berguguran, debu debu yang berserak, dinding dinding lama bercat baru, panggung pertunjukan, senyum haru, senyum iba, senyum mengejek. Semuanya tumpah ruah dimataku, dan perlahan namun pasti pergi menjauh. Pandanganku mulai kabur.

Aku tak mau semua ini hanya menjadi kenangan. Tapi tak bisa dipungkiri semua ini memang sudah menjadi kenangan.

Aku ingin mengakhiri semua ini dengan manis. Ingin membuat semua merasakan manisnya. Seperti halnya penonton film yang berharap sutradara membuat akhir yang happy ending. Tapi sayangnya, aku bukanlah sutradara. Aku juga bukanlah pemenang yang bisa leluasa menuliskan sejarah. Dan yang pasti, aku bukanlah pembuat puzzle. Maaf jika ini bukan akhir yang manis, bahkan mungkin ini akan terasa sangat pahit. Namun percayalah, kita perlu mengecap sesuatu yang pahit untuk menetralisir rasa manis yang berlebihan.

Menyia-nyiakan waktu bukanlah momok yang setiap sa’at harus dipersalahkan, terkadang itu memang dibutuhkan untuk proses pengendapan dalam sebuah pencarian (bila ada yang menganggap ini sebuah pembenaran, tidak apa apa 🙂

Kepada yang bernama kenangan,

mohon maaf apabila selama proses meniti kenangan ini meninggalkan kesan buruk. Kesan yang mungkin dianggap tidak layak untuk dikenang dan dijadikan sebuah contoh kesuksesan. Atas nama kenangan yang ada di dalamnya, mohon maaf…

Kepada yang bernama kenangan,

terima kasih atas semua pelajaran ini. Bukan hanya sekedar bunting, kemudian melahirkan beberapa karya. Tapi ini lebih pada pembelajaran dan penghargaan atas apa yang dinamakan sebuah pencarian. Bukan bermuara pada tujuan, tapi proses pencapaiannya. Terima kasih atas semua pembelajaran yang tak ternilai ini. Melihat senyum yang benar benar jujur, dan bagaimana menjadi diri sendiri. Aku mendapatkannya disini. Semuanya masih kusimpan dengan hangat dan slalu kujaga agar tak pernah dingin. Terima kasih…

dan…

Atas nama kenangan,

aku akan kembali (lagi). Entah kapan dan untuk apa aku juga tak tahu. Mari ngopi sambil saling bicara dan saling mengenal (lagi), seperti sa’at  masih ada dalam kenangan yang sama. Aku tau ini terlampau berat, tapi akan menjadi ringan jika kita menjalaninya dengan manis. Aku tak mau mengucapkan selamat tinggal, karena itu terlalu menyakitkan bahkan jika hanya sekedar dituliskan. Kata itu seperti tidak pernah membukakan diri pada kesempatan yang lebih baik. Selamat tinggal hanya akan membuat suasana terasa kaku dan dingin untuk memulai kembali. Seperti benar benar menutup diri. Aku berharap tak kan pernah mengucapkan dan menuliskan kata itu. Mungkin menggantinya dengan sampai jumpa akan lebih baik. Seperti halnya sebuah pengharapan membuka kesempatan yang lebih baik…

Aku masih akan berjuang untuk bertempur lagi…

Kepada yang bernama kenangan, dan atas nama kenangan yang ada di dalamnya…

Terima kasih dan sampai jumpa…

Catatan :

Tulisan ini sebenarnya beberapa minggu yang lalu pernah saya posting di catatan FB.  Ketika tak sengaja membukanya, tiba tiba saya ingin sekali membaginya di blog. Selamat menikmati 🙂