Terkadang, hal yang kita anggap sepele seringkali pada kenyataannya membutuhkan proses yang tak sepele dan tak biasa. Bahkan mungkin, hal yang kita pikir siapa saja bisa melakukannya dengan mudah, pada prosesnya memerlukan perjuangan yang hebat untuk mencapainya. Ah, sedikit rumit mungkin kata-kata yang saya utarakan di atas – tapi memang seperti itulah kenyataannya.

Ada sesuatu yang menginspirasi saya untuk menuliskan ini. Berawal dari obrolan iseng dengan seorang kawan saya sewaktu ngopi di kantin (kira-kira 2 tahun yg lalu). Awal yang simple mungkin, untuk menggamblangkan suatu alur yang tak biasa dan bisa dibilang, wow, luar biasa.

Kawan saya ini bernama Riza Hakim, biasanya teman-teman memanggilnya Icha. Icha dan saya dihadapkan pada kondisi yang lelah dan sama-sama butuh sesuatu untuk menenangkan dan merilekskan beban pikiran yang mengganjal setelah latihan teater. Si Icha memilih membeli sepiring nasi untuk membayar tuntas ganjalan pikirannya. Saya sendiri memilih ngopi dan mengambil gorengan.

Sambil makan, Icha menceritakan tentang pengalamannya waktu dia kuliah di Bali selama 1 tahun di D4 pariwisata. Icha ingin menjadi seorang koki restoran. Koki bertugas sebagai juru masak dan juga sebagai kepala dapur. Menurut pandangan anda, seperti apakah gambaran tugas seorang juru masak? Yang jelas pikiran kita pasti melayang bahwasanya tugas koki adalah memasak makanan kemudian menyajikannya kepada pembeli. Semua orang awam pasti memiliki pemikiran seperti yang saya tuliskan di atas.

Yang membuat saya terheran-heran, mendengar dari cerita Icha, dia sudah berkeinginan masuk ke D4 Pariwisata sejak kelas 1 SMA. Nah loh, yang membuat saya semakin mlongo, apa yang membuatnya sebegitu menggebu-gebu ingin masuk kesana? Ternyata, dia terinspirasi oleh kakaknya sendiri yang juga sekolah disana. Ah, ternyata begitu penting arti sebuah inspirasi dalam kehidupan kita hingga mampu membuat semangat kita terlonjak dan menimbulkan keinginan yang mengebu-gebu dalam diri kita. Yah, tergantung diri kita, bisa memanagenya dengan benar ataukah malah akan menjadi boomerang bagi diri kita untuk mewujudkannya?

Kembali lagi ke cerita teman saya Icha. Icha yang masih polos setelah lulus SMA langsung mendaftarkan diri ke sekolah tersebut. Ternyata, hari-hari yang dilaluinya tak sesederhana yang ia bayangkan sebelumnya. Berawal dari pemikirannya yang sangat sederhana dari tugas seorang “juru masak restoran” yang ia anggap hanya seperti itu saja, ternyata pada kenyataannya lebih sulit dibandingkan dengan tugas Anggota legislatif yang kerjanya Cuma nongkrong di gedung DPRD [he..he…sebenarnya nggak ada hubungannya sih antara menjadi juru masak dengan menjadi anggota DPR]. Dalam bidang ilmu yang didalami Icha, menurut saya untuk jenjang seperti D4 pariwisata biasanya adalah menyiapkan mahasiswa untuk siap terjun ke lapangan pekerjaan, sekolah skill, begitu saya membahasakannya.

Di sekolahnya yang dulu, lebih banyak menerapkan praktek daripada teori. Karena setelah lulus dari sekolah pariwisata tersebut, tiap lulusannya diharapkan mampu terjun langsung dengan menerapkan ilmu-ilmu yang telah didapat di sana. Setelah mendengar cerita Icha panjang lebar, saya tambah tergeleng-geleng. Ternyata, pekerjaan seorang juru masak di sebuah rumah makan ataupun restoran membutuhkan ketelitian dan keahlian bahkan ilmu khusus untuk mempelajarinya. Mulai dari hal sepele, masalah sendok. Menurut penuturan Icha, di sekolahnya dulu, ada juga loh pelajaran untuk membedakan sendok. Jadi perlu ketelitian yang luar biasa untuk membedakan jenis-jenis sendok. Sendok kopi harus dibedakan dengan sendok teh, meskipun bedanya hanya pada garis ukiran yang terdapat dalam gagang sendok. Trus sendok breakfast juga dibedakan dengan sendok makan siang dan juga makan malam. Semua jenisnya berbeda sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Tentu saja cara pencuciannya dan penyimpanannya juga berbeda. Oh ya lupa, selain dibedakan menurut kegunaannya, sendok-sendok tersebut juga dibedakan menurut jenis makanannya. Nah, ribet juga kan. Icha sempat dibikin strees gara-gara masalah sendok. Belum lagi masalah alat-alat masak yang lainnya. Semua hal diatur secara terperinci, mulai dari cara berjalan membawa makanan sampai menyajikannya pada pembeli. Wah, bener-bener ribet ya? Apalagi sepenuturan Icha, yang sekolah disana umumnya anak-anak orang berada.

Tiba-tiba Icha melontarkan pertanyaan yang sampai saat ini saya juga nggak bisa menjawabnya, dan tentu saja membuat saya kepikiran terus. “Mbak, kenapa ya untuk menjadi seorang babu [buruh] restoran harus melalui proses yang seperti itu rumitnya? Apa kalau kita ingin menjadi buruh restoran harus masuk ke sekolah itu? Dan kenapa orang-orang kaya itu koq banyak yang bercita-cita menjadi buruh?”. Sebenarnya banyak pertanyaan yang Icha lontarkan, namun yang masih terngiang di telingaku dan diotakku hanya tiga pertanyaan itu. Dan terus terang saya juga bingung menjawabnya sampai saat ini. Ada yang mau membantu saya?

Apa mungkin karena pengaruh westernisasi? Semua yang ada di negara kita diberlakukan seolah-olah bergaya hidup barat dan untuk orang-orang berkebudayaan barat. Seorang Bu’ No (seorang pemilik warung sederhana di samping Fakultas saya), yang bisa juga kita sebut sebagai “Stageholder” [orang-orang yang diuntungkan dengan berdirinya sebuah Universitas] tak pernah seruwet itu membedakan sendok. Beliau juga tetap eksis dengan keramahannya melayani pembeli-pembeli yang rata-rata adalah mahasiswa dan parahnya lagi sering ngutang. Bisa jadi dia sangat diuntungkan dengan adanya sebuah Universitas, namun kadangkala beliau juga sangat dirugikan manakala pembelinya pada ngutang, dan bayarnya pun gak pasti.

Adakalanya, meluangkan sejenak waktu untuk ngopi di warteg, menikmati alur suasana kehidupan mereka-mereka yang sebenarnya sedikit tersingkir dengan adanya restoran-restoran yang sekarang lagi ngetrend di kalangan mahasiswa. Kalau gak pernah ke KFC kesannya ketinggalan jaman, kalau gak pernah ke Pizza Hut kesannya nggak gaul. Nah, pernah terpikir gak di benak kita, begitu banyak iklan yang membombardir kita untuk sedikit demi sedikit bergeser ke budaya mereka? Restoran dan Mall merajalela, trus akan kita kemanakan orang seperti Bu’ No yang sudah ada sebelum berdiri bangunan-bangunan megah itu? Kalau bukan berawal dari kita dulu yang peduli, siapa lagi yang akan mempedulikannya?

Akan terasa indah dan manis bila kita mampu hidup berdampingan dengan mereka. Dunia terasa damai dan berwarna. Mari kita budayakan peduli terhadap orang-orang yang telah mempedulikan kita. Filter itu sebenarnya ada dalam diri kita masing-masing, tinggal bagaimana cara kita memanfaatkan sesuai dengan fungsinya.