Selarik pertanyaan menggantung di langit-langit senja. Kenapa harus selalu biasa? Ketika ingin menjadi tak biasa, kenapa selalu dianggap aneh? Ada apa sebenarnya dengan kebiasaan-kebiasaan ini?

Kisah Pertama :
Beberapa waktu lalu, seorang kawan saya Mas Kernet “Propa Nanda” menceritakan pengalamannya ketika kuliah di psikologi. Suatu ketika dosennya memberi perintah untuk mengilustrasikan gambaran pemandangan. Hampir keseluruhan memberi ilustrasi yang sama. Bahwa gambar pemandangan itu pasti ada dua gunung, ditengahnya ada matahari, ada pohon kelapa, ada sawah, ada awan, ada burung. Hampir semuanya seperti itu. Ketika itu, kawan saya ini mengilustrasikan pemandangan adalah terali penjara. Dan bisa dipastikan dia menjadi sosok yang aneh di mata semua kelas.

Kisah Kedua :
Ada lagi seorang kawan yang mengalami kejadian serupa. Namanya Bob. Suatu ketika, Bob sedang mengikuti materi kepencintaalaman. Tiba-tiba, si pemateri ini membagikan kertas dan spidol. Kemudian si pemateri ini berkata, “Tolong gambarkan saya alat vital di kertas yg telah saya bagikan tadi”. Seisi ruangan langsung bergemuruh ramai mendengar perintahnya. Si pemateri hanya senyum-senyum sendiri. Bob bingung melihat teman-temannya yang lain menggambar sambil ditutupi tangan (seperti gaya anak SD yang tidak ingin dicontek sa’at mengerjakan ujian).Bob dengan santai dan tenang menggambar mata. Pada waktu semua kertas dikumpulkan, hampir keseluruhan peserta menggambar bentuk alat vital yang sebenarnya. Si pemateri hanya tersenyum. Dan kenyataannya, gambar Bob memang beda dengan yang lainnya.

Fenomena apakah ini?
Apakah yang sedang terjadi? Apakah dua kisah tersebut merupakan sudut pandang yang sudah diamini secara kolektif? “Sadar atau tidak, dari kecil kita (sudah) disamakan sudut pandangnya dalam segala hal”. Bahwa gambaran pemandangan itu memang seperti itu. Seperti halnya pada kisah si Bob, ketika dihadapkan pada kata alat vital, pikiran kita langsung melayang pada hal yang memang sudah disepakati orang bernama alat vital. Dan tentu saja itu melenceng jauh dari esensi kata alat vital itu sendiri.

Imajinasi kita seolah dituntun dan dibatasi hanya pada bentuk-bentuk dan warna yang telah ditetapkan dan disepakati. Sedikit saja kita keluar dari pakem yang tlah ditentukan pasti dianggap aneh dan tak biasa. Terlepas dari dua contoh di atas, ada banyak contoh serupa. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah membudaya secara kolektif.

Teknologi sudah semakin maju. Ada televisi yang siap sedia menyediakan imajinasi untuk kita di setiap tayangannya. Kita tak perlu susah payah mengunjungi puncak rinjani, sudah ada televisi dengan progam petualangannya yang siap menyamakan imajinasi kita sama seperti yang ada di gambar. Faktanya, apa yang kita lihat di TV belum tentu sama dengan apa yg kita rasakan ketika mengunjunginya langsung. Imajinasi kita akan lebih bebas memilih warna apa yang tepat untuk hidup kita, tanpa terhalangi oleh layar kaca segi empat.

Nah, untuk selanjutnya, apakah kita salah jika keluar dari kebiasaan-kebiasaan tersebut? Apakah aneh jika kita mewarnai sudut pandang kita dengan jalan yang berbeda dari kebiasaan kebiasaan tersebut? Adakah yang salah, jika kita mencoba menikmati hidup dengan cara yang beda?

Kisah Ketiga :
Untuk kisah yang ketiga ini, silahkan isi dengan imajinasi dan sudut pandang kita masing-masing. Tak ada yang salah dengan perbedaan. jika bisa menerima kebiasaan-kebiasaan yang ada, kenapa tak kita sisakan sedikit ruang untuk menerima dan menelaah segala sesuatu yang tak biasa. Tak bolehkah kita mengambil keputusan sendiri atas apa yg akan kita rencanakan?