Seorang gadis kecil tersenyum dalam tidurnya. Tampak senyum kebahagiaan di bibirnya yang mungil. Ah, dia terlalu lelah hari ini. Hari yang dianggapnya sebagai momentum memasuki dunia baru : remaja. Masa yang diimpikan semua gadis seusianya : 17 tahun. Tapi bagiku dia tetaplah gadis kecilku, yang selalu manis dan lincah. Rinjani, namanya. Aku dan suamiku selalu berharap agar dia menjadi perempuan yang tegar dan kokoh seperti gunung Rinjani. Kami memanggilnya Ni, cocok untuk gadis bermata salju sepertinya.

Kami adalah keluarga yang sangat sederhana. Terlalu berlebihan jika kami menghadiahi Ni dengan pesta-pesta yang gemerlap. Suamiku berusaha memberikan pengertian pada anak semata wayang kami. Aku masih ingat sa’at suamiku berkata, Ni, 17 tahun itu bukan suatu pencapaian yang mudah. Bukan masa dimana kamu bisa bebas sebebas-bebasnya. Untuk mencapai angka 17 itu butuh keberania dan kesiapanmu. Dan kita tidak harus membuat pesta yang glamour. Itu sudah biasa. Kita akan buat syukuran dan do’a yang sederhana untuk menyambut angka 17-mu itu.

Alhamdulillah Ni mengerti dengan semua itu. Syukuran sederhana dan do’a bersama itu hanya dihadiri oleh kelurga dekat dan sahabatnya saja. Aku pikir ini cukup untuk menemani kebahagiaannya hari ini. Dengan menu yang sangat sederhana. Aku juga sangat bahagia mempunyai suami yang sangat kreatif dalam menyiapkan semua konsep yang tak biasa itu.

Sekarang Ni sedang tertidur pulas dalam kebahagiaannya. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya. Ya, sesuatu yang sudah seharusnya Ni mengerti, mengingat sekarang usianya sudah 17 tahun. Ini momentum yang tepat untuk mengatakan semuanya.

Ibu, ma’af  Ni ketiduran… Ucap anakku yang tiba-tiba terbangun. Mata saljunya masih kelihatan merah. Lucu sekali melihatnya. Tiba-tiba aku terkejut dikagetkan oleh pertanyaannya, Bu, bolehkah Ni buka kado-kado ini? Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum. Kuperhatikan terus gerak lincah tangannya membuka kertas-kertas pembungkus kado itu. Mata saljunya langsung berbinar meneliti isi kotak-kotak itu, tak lupa senyummnya yang mengembang menghadirkan dua lesung pipit di pipinya.

Tiba-tiba, tangannya meremas  kertas-kertas  pembungkus kado itu kemudian membuangnya di tempat sampah yang berada tak jauh di depannya. Aku masih tersenyum melihatnya. Namun hatiku sedikit teriris melihat dia melakukan itu. melihat yang melakukan itu adalah Ni, anak kami yang bermata salju itu.

“Ni, kenapa kertas pembungkus kado itu dibuang sayang? Bukankah kita bisa memanfaatkannya?”

“Untuk apa Ibu, itu kan hanya kertas bekas yang sudah tak bisa dipakai lagi. Mau dimanfaatkan untuk apa?”

Deg, hatiku serasa diiris-iris…

“Sayang, setiap lembaran kertas dihasilkan dari sebatang pohon. Berapa lembar kertas yang dihasilkan dari sebatang pohon? Coba bayangkan. Jika ada sebuah lahan yang ditanami pepohonan berkayu keras. Lebarnya 8 kaki,panjangnya 4 kaki, dan tingginya 4 kaki. 3 kaki kira-kira sama dengan 1 meter.Apa saja yang bisa dihasilkan oleh lahan ini? Ternyata pohon-pohon itu bisa menghasilkan 1000-2000 pon kertas, atau 1/2-1 ton kertas, atau 942.100 halaman buku, atau 4.384.000 perangko, atau 2700 eksemplar koran, atau…berapa eksemplar lagi halaman majalah kesayangan Ni? Dan juga kertas-kertas pembungkus kado yang Ni buang tadi. Jadi berapa banyak jumlah pohon yang harus ditebang untuk menghasilkan kertas yang ada di seluruh dunia?”

Ni tetap menunduk..

“Coba kita bisa menghemat kertas dengan cara memanfaatkannya. Menghemat kertas, berarti menghemat : POHON, MINYAK, ENERGI LISTRIK DAN AIR. Kalau kita menghemat 1 ton kertas, berarti kita juga menghemat 13 batang pohon besar, 400 liter minyak, 4100 Kwh listrik dan 31.780 liter air. Proses pembuatan kertas itu panjang Ni. Untuk mendapatkan selembar kertas itu kita harus kehilangan pohon, listrik, air, dan segala bahan-bahan penunjang proses produksinya. Apa kamu tega mengakhiri semua proses itu di tempat sampah? Kita bisa memanfaatkannya lagi Ni.”

Ni, masih menunduk. Tapi aku yakin kamu akan mengerti ini semua. Ni sudah 17 tahun, dan sudah sa’atnya mengerti ini semua. Mengerti bahwa bumi ini sedang dalam keadaan tidak ‘sehat‘. Mengerti bahwa bumi ini memang benar-benar butuh cinta kita…

Ni, gadis kecilku, jangan jadi pembunuh. Membuang kertas-kertas itu di tempat sampah bukanlah suatu penyelesaian yang bijak. Sama halnya jika kita membuang plastik. Kita pasti berpikir bahwa kita sudah cinta lingkungan. kita tidak akan tahu prosesnya setelah itu. Iya kalau didaur ulang lagi, kalau dibuang dan ditimbun begitu saja? Kita tak akan tahu apa kelanjutannya.

Jangan biasakan membuang sesuatu yang sudah kita anggap tak berguna lagi, itu hanya akan menjadikan kita pembunuh. Hidupkanlah lagi dengan memanfaatkannya semampu kita.

Ni, gadis kecilku yang bermata salju. Jangan pernah punya impian untuk jadi pembunuh. Karena jadi pembunuh sekarang ini mudah. Bahkan di luar kesadaran kita.

Dengan hanya menyemprotkan parfum di sekujur tubuh kita, kita sudah jadi pembunuh. Parfum merupakan satu dari beberapa bahan yang yang mengandung CFC (ChloroFluoroCarbon). CFC yaitu zat yang merubah ozon menjadi oksigen. Jika tidak ada ozon maka sinar ultra violet yang masuk kebumi tidak dapat dicegah lagi. Pemicu dampak selanjutnya dari penipisan ozon yaitu pemanasan global.

Satu molekul parfum dapat menghilangkan kira-kira 100.000 molekul ozon di atmosfer dan dapat bertahan disana 50 sampai 100 tahun. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi kelangsungan makhluk hidup dibumi ini. Dampak yang kita rasakan yaitu ketika hari mendung maka udara akan terasa panas, tidak sejuk. Hal ini merupakan dampak dari penipisan ozon yang tak mampu lagi menghalangi sinar ultraviolet yang masuk.

Lihatlah Ni, begitu gampangnya kita jadi seorang pembunuh. Cukup dengan menyemprot parfum, boros kertas, tak bisa memanfaatkan sesuatu seperti plastik dan semacamnya, boros air, listrik, bahan bakar, dan sejenisnya. Semua ini ‘kehidupan’ Ni…

Waktu terus berganti, dan kita berubah di dalamnya Ni. Hampir semua orang berlomba-lomba untuk jadi pembunuh. Tapi Ibu ingin Ni berusaha mempertahankan ‘kehidupan’ ini. Setidaknya Ni bisa menjaga ‘kehidupan’ ini agar tetap ada dan jangan sampai dibunuh…

Rinjaniku yang  manis. Ibu dan Ayah sangat menyayangimu. Kami tak ingin gadis berbola mata salju yang menyejukkan dan berlesung pipit sepertimu menjadi seorang pembunuh.

Rinjaniku yang tegar d an kuat, didiklah anakmu untuk tidak menjadi seorang pembunuh. Karena kami berharap, mereka masih bisa melihat hijaunya pepohonan, birunya langit, jernihnya air, bersihnya udara, nyanyian burung, dan segala jenis warna-warni yang membuat bumi ini semarak